“Kepala saya hanya berjarak seperempat meter dari anak panah yang menancap,” kelakar Pak Yakub sembari menarik jaring yang dibenamkannya di ambang Danau Poso, “Kamu kira itu mengerikan? Tidak. Itu biasa di sini. Dulu. Dulu itu biasa di sini.”
Pak Yakub bercerita bagaimana kelompok Kristen dan Islam dulu bersengketa di Poso, bahkan saking panasnya permusuhan itu sampai-sampai mereka sudah tidak ingat lagi apa yang mereka perebutkan. Entah rebutan apa pokoknya musuhan saja. Pemuka agama yang diharapkan meredam situasi ternyata justru banyak yang menjadi kompor. Keluh kesah Pak Yakub terdengar begitu mencekat dari suaranya yang parau.
Namun itu dulu. Sekarang Pak Yakub dapat kembali menjaring sogili tanpa takut kepala satu-satunya ditembus panah. Demikian pula orang-orang Muslim dari kampung seberang sudah mulai berdatangan ke Tentena, entah untuk berdagang atau sekedar berwisata. Singkatnya, Poso pun perlahan-lahan sudah kembali menggeliat.
Jauh di masa yang lewat, buku-buku panduan wisata partikelir acap membahas tentang sebuah kota perhentian di jantung Sulawesi. Kota Tentena yang tenang disebut-sebut sebagai desa berpenduduk mayoritas Kristen yang dihiasi bukit-bukit berbalut perkebunan cengkeh. Namun semenjak dua dekade lampau, catatan tadi terkubur dalam-dalam. Tentena bukan lagi tempat yang aman untuk dikunjungi orang luar.
“Sekarang orang-orang sudah berani datang ke sini,” lanjut Pak Yakub dengan seringai yang nampak setengah dipaksakan, “Arus perdagangan juga sudah mulai lancar. Dari Palopo, Soroako, Poso. Semua sudah mulai berani lewat sini. Akses lebih terbuka.”
Tentena bertumpu pada sektor perikanan. Ekspor ikan sidat, yang disebut warga dengan istilah sogili, menjadi andalan perekonomian daerah ini selama bertahun-tahun. Bangkitnya kembali sektor pariwisata menjadi angin segar bagi Tentena untuk mengejar ketertinggalan dari daerah-daerah lainnya lantaran konflik berkepanjangan yang telah lalu.
Saya berpamitan dengan Pak Yakub, kemudian berjalan seorang diri menyusuri hamparan rumput berlumpur yang mengitari pesisir Danau Poso pada sore itu. Riuh kendaraan bermotor nampak berseliweran di sana sini seakan-akan mengisyaratkan bahwa Poso telah sepenuhnya pulih. Saatnya kembali membangun.