Penduduk Desa Compang menyebut rumah mereka dengan sebutan Mbaru Gendang. Pasalnya ruangan tengah rumah yang dihuni oleh empat keluarga ini dihiasi oleh alat musik gendang. Berbeda dengan gendang yang ada di Jawa, gendang khas Manggarai ada yang salah satu sisinya berlubang. Akibatnya gendang tersebut jadi mirip konga, alat musik penduduk Karibia.
Laiknya kebudayaan di seantero nusantara, rumah adat Manggarai juga mempunyai nilai filosofis yang tinggi. Dua prinsip utama arsitekturnya adalah reje leleng bantang cama (permusyawarahan) dan kope oles todo kongkol (kesejahteraan).
Kemarin saya menyempatkan diri untuk bertamu ke salah satu Rumah Gendang yang dipunyai seorang bapak setengah baya. Bapak tersebut merupakan kepala keluarga dari salah satu keluarga yang tinggal di rumah tersebut. Rumah Gendang dihuni oleh empat hingga lima keluarga sekaligus. Masing-masing keluarga mempunyai kamar tersendiri sedangkan ruang tengah adalah aula milik bersama.
Bapak tersebut bercerita bahwa mayoritas pelancong yang datang ke situ adalah orang asing. Orang Indonesia yang beberapa kali berkunjung ke tempat tersebut hanyalah mahasiswa yang melakukan penelitian tentang kebudayaan Manggarai. Jarang sekali ada turis lokal.
Yang memancing gelak tawa, mungkin adalah poster-poster Cinta Laura yang ditempel di mana-mana di dalam rumah ini, termasuk di dinding pintu kamar tidur mereka. Entah kenapa.
Sang bapak mempersilakan kami duduk dan mendengar perihal kebudayaan Manggarai. Di antaranya kuda-kuda atap rumah menuju satu titik puncak dan diikat tali ijuk sebagai lambang permusyawarahan.
Selain itu di depan rumah terlihat sebuah perangkat Tari Caci Melo : tameng dan cambuk. Masyarakat Manggarai memang dikenal memiliki budaya yang disebut Perang Tading. Dalam Perang Tanding, dua kubu masyarakat yang bersengketa melakukan perang terbuka secara jantan. Perang pun lazim baru selesai setelah ada yang terbunuh. Menariknya, setelah ada yang mati, kedua pihak bisa saja berdamai dan bersenda gurau seakan tidak ada masalah apapun!