Surga ala Pulau Derawan

Puja-pujilah Maldives setinggi langit. Indonesia punya Derawan. Konstelasi empat pulau utama Derawan, Sangalaki, Maratua, dan Kakaban adalah instansiasi surga tropis ideal. Adakah kombinasi yang lebih baik daripada garis laut yang bening, sehampar pasir putih, barisan pohon kelapa, dan terumbu karang yang bertebaran di perairannya?

Dua minggu. Ya. Dua minggu saya habiskan di daratan sunyi senyap ini. Ketika teman-teman saya sedang berjibaku dengan gaduhnya kehidupan Jakarta, saya menyendiri di pulau terpencil. Jauh dari keramaian dan bersembunyi dari kejaran sang waktu.

Waktu seakan berjalan melambat. Setengah hari yang lalu, saya masih berdiam di Berau, berpanas-panas di tepi dinding Sungai Segah kebingungan mencari kendaraan untuk ditumpangi ke Tanjung Batu. Namun serentetan kemurahan hati, termasuk menumpang kapal nelayan, menghantar saya di gugus kepulauan satu juta hektar ini bahkan sebelum matahari terbenam.

Di tengah kombinasi kesunyian dan hampar pasir putihnya, Derawan adalah surga bukan hanya untuk pesinggah, namun juga bagi penyu hijau. Spesies langka ikon Derawan ini membutuhkan hampar pantai yang sepi dengan cahaya lampu minimal untuk dapat bertelur. Sedikit gangguan saja dapat membatalkan agenda perteluran si penyu betina. Selama beratus-ratus tahun, gugus kepulauan ini memberikan habitat yang sempurna bagi mereka untuk dapat bertelur.

Derawan identik dengan penyu. Namun seiring dengan influks wisatawan dan meningkatnya aktivitas di kepulauan ini, ruang gerak penyu-penyu tersebut mulai terkikis. Untuk perkara yang satu ini, pengelola taman nasional sudah menyisihkan Pulau Sangalaki sebagai kawasan terlindungi, aktivitas masyarakat di pulau tersebut ditekan seminimal mungkin, diikuti pemadaman listrik massal setiap malam.

Sebelum saya tiba, saya punya ambisi untuk menjadikan dua minggu ini penuh aktivitas. Namun ternyata saya keliru. Derawan tidak untuk dinikmati dengan menggebu-gebu dan penuh semangat, Derawan baru dapat dinikmati ketika kita berpasrah diri mengikuti ritmenya yang lambat. Tenggelam di dalam ketukan detak-detiknya yang ringan.

“Ayo, silakan dimakan, makan di sini saja tiap malam,” kata Pak Ilham seraya menyodorkan sepiring ikan bakar di hadapan saya. Temaram sepasang lampu neon yang menyala ogah-ogahan meninggalkan banyak bayangan di wajah tuanya. Di dalam kondisi yang sepi seperti ini, kedatangan pengelana seperti saya di warungnya tentu sangat dia harapkan.

Namun saya hanya bisa mengangguk, meskipun itu artinya saya terpaksa makan ikan dua minggu penuh.