Pondok-pondok kayu ini hanyalah sedikit dari yang tersisa di tanah ini. Selama tiga dekade para manusia perahu dari Vietnam mendiami kamp di Pulau Galang, menyelamatkan nyawa satu-satunya dari kecamuk negara mereka yang tidak menentu. Pondok-pondok kayu ini direnovasi ulang menjadi sebuah museum untuk mengenang peristiwa tersebut.
“Tinggal ini yang tersisa,” terang Pak Kasim yang mendampingi saya berjalan-jalan senja itu, “Sampai tahun 1995 masih ada yang tinggal di sini. Tapi para pengungsi ini diisolasi, tidak diperbolehkan berinteraksi dengan penduduk luar. Selain karena dikhawatirkan membawa masalah sosial, mereka juga membawa wabah penyakit menular yang disebut Vietnam Rose.”
Vietnam Rose adalah penyakit seks. Penyakit yang menular dan sangat sulit disembuhkan, dengan melakukan karantina terhadap para pengungsi di pulau ini, PBB dan pemerintah berusaha untuk mencegah penyebarannya. Tidak hanya pondok pengungsi yang ada di kamp ini, rumah ibadah, rumah sakit, hingga sekolah juga terdapat di sudut-sudutnya.
Dan penjara. Ya. Penjara. Ada sebuah penjara di pulau ini yang digunakan untuk mengurung mereka yang melanggar peraturan. Di tengah keriuhan para pengungsi yang bercampur menjadi satu tentu peraturan harus dibuat dan ditegakkan secara tegas tanpa banyak toleransi, lantaran ini menyangkut hidup dan mati. Pencurian, misalnya, bisa saja membawa kerusuhan. Oleh karena itu penjara menjadi sarana kontrol sosial yang niscaya.
“Kalau ke sini malam-malam sering ada penampakan,” kelakar petugas penjaga kepada saya sore itu, “Dulu pernah ada seorang gadis yang diperkosa di sini oleh sesama pengungsi. Kemudian gadis itu bunuh diri karena malu. Mungkin hantunya masih sering gentayangan di sini.”
Saya tidak mempedulikan ocehan bapak itu sebab tujuan saya ke sini adalah merekam sejarah. Apabila hantu si gadis muncul di hadapan saya ya malah bagus, artinya saya punya bahan liputan lebih banyak! Sayangnya tidak.