Lanskap hari itu hanya dua warna, biru dan putih. Nuansa laut biru terang membentang apik di hadapan saya berbatasan langsung dengan cakrawala yang sama birunya. Sementara pasir putih menghampar luas seperti karpet yang berlapis bedak bayi. Persetan saja ketika orang bicara soal Maldives, teruntuk saya pribadi tiada yang dapat menandingi indahnya Maratua.
Ada berkata, sepantasnya kesunyian dan keindahan itu melebur menjadi satu. Tidak sepenuhnya salah. Setidaknya siang di Maratua ini menjadi sebuah bukti anekdotal akan sebuah pernyataan proverbial. Di tengah hening laut yang mendayu-dayu, saya terbenam dalam lamunan keindahan pulau cantik di seberang Kakaban ini.
Siang ini agak distingtif daripada waktu-waktu lain di sepanjang hari. Pasir putih yang mengalasi kaki dermaga tidak teredam oleh air laut seperti sebiasanya. Saya melompat turun dari jembatan dermaga, merasakan panas dan lembutnya butir-butir pasir bersentuhan dengan telapak kaki.
“Siang hari seperti ini memang tidak ada orang,” kata Pak Irfan membuka sapaan, “Kalaupun ada tamu, biasanya tengah hari mereka ke laut. Menyelam atau snorkelling.”
Menarik. Sebab memang siapa sangka bahwa permata seindah ini justru ditemukan ketika saya berdiam diri di tepi pantai tanpa harus ke mana-mana. Ini bahkan tidak sampai selemparan kolor dari kamar tidur Maratua Paradise Resort.
Saya berjalan sendiri menyusuri garis pantai, merasakan air laut merendam mata kaki sementara matahari masih bersinar dengan garangnya di atas sana. Pukul dua lewat sedikit. Sekujur tubuh saya sudah memerah, perih, satu jam saja di tempat ini sudah cukup untuk membuat kulit saya menjadi lebih eksotis.
Sebuah pesan singkat masuk ke telepon genggam, ajakan pertemuan untuk pembahasan sebuah proyek. Tiba-tiba saya teringat bahwa persinggahan di gugusan Derawan tidak lebih dari pelarian sementara, esok hari saya sudah harus kembali ke tengah hiruk pikuk metropolitan Jakarta.