Langit seperti segelontor emas yang meleleh. Saya terdiam seorang diri menatap ke laut lepas dari sempadan Pulau Nabucco, pulau selebar lapangan bola yang punya satu kafe dan satu resort di tanahnya yang serba terbatas ini. Pulau Nabucco nan anggun dihiasi pepohonan rimbun dan pantainya menghadap tanpa halangan ke segala arah.
“Bisa kok bayar pakai Euro, Pak,” celetuk salah seorang pelayan kafe yang spontan membuat saya mengernyitkan dahi dalam-dalam. Lantaran mayoritas wisatawan yang hadir ke sini adalah orang Eropa, mereka bahkan mencantumkan harga dalam Euro.
Nabucco memang tidak setenar kuartet tetangganya, Derawan, Kakaban, Sangalaki, dan Maratua yang justru bisa berarti bagus, lantaran influks turis yang menyinggahi pulau kecil ini juga sudah dipastikan tidak akan sebanyak di tetangganya.
Saya duduk santai menikmati jus buah sembari menunggu matahari terbenam. Berulangkali saya membidikkan kamera untuk menangkap momen-momen unik di seberang sana. Siluet manusia, kapal, pohon tercetak apik dengan latar belakang langit cerah yang kuning merona. Perjalanan ke Nabucco memang tidak ubahnya penantian matahari terbenam.
Matahari larut di balik kepulauan kecil di seberang sana. Langit yang tadinya kekuningan kini memerah, merona jingga terang dengan semburat yang semakin tipis. Awan-awan gelap tercetak menemani langit biru tua yang memangsa langit barat sedikit demi sedikit.
Saya merapikan seluruh perlengkapan dan berjalan kembali ke kapal. Terbenamnya matahari adalah panggilan untuk meninggalkan Nabucco. Perlahan langit pun gelap.