Berkunjung ke Pulau Penyengat bak berteleportasi ke negeri dongeng. Pulau di seberang Tanjungpinang ini dihiasi kastil-kastil kecil berwarna kuning terang beratap kerucut di seantero sudut-sudutnya. Di sini istana. Di sana masjid. Di situ makam. Semuanya bernuansa kuning menyala.
Jauh sebelum era Kemaharajaan Melayu, pulau ini kerap digunakan sebagai perhentian para pelaut untuk mengambil air tawar. Di dalam sebuah insiden, sekelompok pelaut tewas diserang oleh sekawanan lebah ganas. Dari situlah muncul nama Pulau Penyengat. Pulau Penyengat Indera Sakti, nama lengkapnya.
Adalah Sultan Mahmud Syah, penguasai Johor Riau, yang memberikan pulau ini kepada Engku Putri Raja Hamidah, seorang gadis Melayu, sebagai mahar pernikahannya. Engku Putri merupakan putri Raja Perak yang di dalam dirinya mengalir darah Bugis kental.
Pada awal riwayatnya, Pulau Penyengat juga ditengarai menjadi medan pertempuran berdarah antara keturunan Sultan Mahmud Syah melawan keturunan Sultan Abdul Jalil Riayatsyah, yang dipimpin Tengku Sulaiman. Kemenangan Tengku Sulaiman yang dibantu para bangsawan Bugis berhasil membuat dirinya menancapkan kekuasaan Kesultanan Johor-Riau. Sebaliknya, keturunan Sultan Mahmud Syah melarikan diri ke Siak dan kemudian mendirikan Kesultanan Siak Sri Indrapura.
Saya berjalan seorang diri melewati jalanan perkampungan Pulau Penyengat yang basah diguyur hujan semalam suntuk. Jalanan yang sepi senyap dengan rerumputan liar yang rungkut di sekitarnya membuat saya merasa seolah-olah kembali ke era peradaban Melayu Riau.
Seorang bapak berpakaian kelabu lusuh melongokkan wajah dari jendela rumah kayunya, menyeringai memamerkan gigi-giginya yang ompong, “Datang dari jauh ya kamu? Mau lihat-lihat pulau?”
Saya mendapatkan seorang teman baru.