Hanya sesaat puncak Mahameru menyembul dari balik Cemoro Kandang. Meski hanya terlihat sesaat namun cukup untuk memberikan kesan bahwa puncak yang dinanti-nanti itu terasa begitu dekat, alias hanya satu bukit lagi.
Pendakian dari Kalimati menuju ke Arcopodo dan terakhir lanjut summit attack Semeru adalah perjalanan yang paling berkesan sekaligus menantang. Cuaca pada puncak Semeru kerap tidak terduga dan sanggup menyulitkan para pendaki yang berniat menuruni puncak menuju ke bawah batas vegetasi.
“Ingat ya! Asuransi hanya menanggung kalian sampai ke Kalimati,” terang Pak Sugeng setengah berkelakar, “Jadi apabila terjadi sesuatu setelah Kalimati, yaitu Arcopodo dan apalagi sampai ke puncak, maka pihak taman nasional tidak mau tahu.”
Di Arcopodo terdapat sepasang arca dari zaman megalitik. Barangkali erat hubungannya dengan pemujaan manusia pada zaman purba. Dari sana perjalanan berikutnya adalah menembus batas vegetasi yang mana itu merupakan titik terakhir tumbuhan mampu bertahan hidup di ganasnya puncak Mahameru. Lebih ke atas, hanya ada tanah gersang berbatu hingga puncak.
Untuk pendakian akhir menuju puncak, keberadaan trekking pole sangat penting karena mampu menghemat tenaga untuk mendaki puncak Mahameru yang berpasir dan berbatu-batu.
“Yang susah adalah turunnya. Dari puncak Semeru untuk turun kalian harus punya patokan ke sebuah pohon cemara yang ada di bawah,” terang bapak petugas taman nasional, “Sebab apabila kalian salah turun ke sebelah kanan. Itu adalah area berbahaya Blank 75.”
Blank 75 adalah zona tengkorak. Dinamai demikian karena di area tersebut terdapat patah-patah jurang sedalam 75 meter. Sudah banyak pendaki yang salah arah ketika turun dan tewas di sana.
“Biasanya pendaki tersesat gara-gara kabut tebal. Kabut tebal itu membuat arah penurunan bisa meleset yang akhirnya pendaki biasanya berakhir di Blank 75, zona tengkorak,” pungkas bapak itu sambil menutup map yang dibawanya.