Menjelajahi Pugung Raharjo

Taman Purbakala Pugung Raharjo sudah barang tentu bukan lokasi yang kardinal. Jangankan Indonesia, di dalam peta pariwisata Lampung pun tempat ini nyaris tidak pernah muncul. Adapun ketenaran Pugung Raharjo sedikit banyak terangkat lantaran kedekatan lokasinya dengan Kota Bandar Lampung dan posisinya yang berada di jalur pintas menuju Way Kambas.

Selebihnya lokasi wisata taman purbakala ini senantiasa sepi pengunjung, terkecuali oleh beberapa orang yang mempunyai minat khusus atau kebetulan melintas di sana. Kedatangan Sarah dan saya pada siang itu pun boleh dibilang tanpa perencanaan, kami datang dalam kondisi serba kebetulan lantaran sedang melintas menuju ke Way Kambas.

Masuk ke kawasan Pugung Raharjo, kita disambut oleh sebuah lekukan besar di tanah yang memanjang membelah dataran. Orang menyebutnya sebagai benteng tanah lantaran diyakini cekungan tersebut merupakan benteng yang dibentuk oleh manusia purba untuk mempertahankan sukunya dari serbuan orang asing maupun hewan buas.

Pada medio 1950-an, kawasan ini merupakan hutan tertutup. Rambahan transmigran pada penghujung dekade tersebut membuat banyak kawasan hutan dibuka, menghimpit para satwa ke tepi timur sekaligus membuka kembali peninggalan-peninggalan megalitikum yang terselip di dalam hutan, salah satunya adalah areal percandian ini.

Tidak ada nama khusus yang disematkan kepada kawasan ini hingga akhirnya orang pun menamai tempat ini sebagai Taman Pugung Raharjo sesuai dengan nama desa yang ada di sebelahnya.

Zaman Megalitikum alias zaman batu yang merupakan asal muasal dari peninggalan purbakala ini adalah sebuah era di mana manusia belum mengenal tulisan maupun seni. Ciri-ciri utamanya adalah seluruh alatnya terbuat dari bebatuan besar. Periode ini berakhir dengan masuknya agama Hindu ke nusantara menjelang abad keempat.

Tidak banyak informasi yang berhasil saya dapatkan dari tempat ini. Alih-alih mendapatkan pemandu untuk menjelaskan, siang itu hampir seluruh tim arkeolog Pugung Raharjo sedang sibuk melakukan survei lapangan sehingga tidak ada seorang pun yang menemani kami. Ah, biarlah. Barangkali di lain waktu.