Replika SD Laskar Pelangi

Entah dari mana pasir sebanyak itu. Tidak terlihat bahwa Desa Gantong ini lokasinya dekat dengan laut. Sebuah bangunan sekolah yang terlihat mau rubuh dipagari oleh bilah-bilah kayu. Teringat bahwa saya pernah singgah ke tempat ini lima tahun silam dan pada waktu itu belum ada pagar yang membentengi.

Kini tempat ini menjadi serba komersial. Sebab memang awalnya demikian. Bangunan rumah ini pada mulanya dibangun sebagai replika dari SD Muhammadiyah Gantong untuk keperluan syuting film Laskar Pelangi. Namun seiring popularitas Laskar Pelangi, kawasan ini lantas semakin ramai dikunjungi orang dan kemudian dikemas sedemikian rupa untuk dikomersialisasi.

Ruang kelas itu sunyi kosong. Berbeda dengan keramaian dan keriuhan aktivitas syuting ketika saya ke sini lima tahun yang telah lalu. Bangku-bangkunya porak poranda. Potret Soeharto dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX nampak dilapisi oleh debu setebal ruas jari. Persis seperti gambaran sekolah-sekolah di tanah ini dalam novel Laskar Pelangi yang ditulis oleh Andrea Hirata.

Saya melirik ke dalam ruang kelas. Segerombolan anak nampak seru bermain-main di dalam, berpura-pura menjadi tokoh-tokoh di dalam film Laskar Pelangi. Saya pun tersenyum melihat mereka yang dibalas dengan sorakan.

Mereka berlarian keluar. Di bawah pohon yang rimbun di halaman sekolah itu, anak-anak tadi mengerubuti saya dan meminta saya merasakan sebutir buah yang mereka bawa dari kebun. Entah buah apa itu, rasanya asem. Anak-anak Belitung mungkin termasuk salah satu yang paling penasaran di Indonesia, mereka menghujani saya dengan ratusan pertanyaan yang ke sana kemari.

“Kalian kok ada di sini semua? Tidak sekolah?” tanya saya balik.

“Sudah pulang! Sudah pulang!” teriak salah satunya yang langsung ditimpali oleh yang lainnya, “Hari ini hari Jumat jadi pulangnya cepat. Jumat sama Sabtu biasanya sering pulang cepat.”

Saya melirik ke arah arloji. Sudah tengah hari. Artinya saya perlu melanjutkan perjalanan lagi. Setengah lusin anak itu saya minta berkumpul mengitari saya kemudian Vany mengambil foto saat kami bergurau. Kunjungan ke Belitung ini biarlah jadi catatan tentang bagaimana sebuah desa sunyi senyap berubah menjadi populer ke seantero Indonesia berkat sebuah novel.