“Diduga ada delapan puluh candi di seisi kompleks. Baru sepersepuluhnya kami restorasi,” ungkap bapak dari Dinas Kepurbakalaan itu dengan santai. Terus terang angka ini cukup mengejutkan. Artinya masih ada sembilan puluh persen candi yang tersembunyi.
Perjalanan Wahyu dan saya untuk menyusuri sudut-sudut terdalam kompleks Muaro Jambi sepertinya mengisyaratkan kebenaran omongan bapak tadi. Sejumlah situs kami dapati masih berwujud onggokan batu bata merah. Bahkan sebagian besar dari mereka bentuknya sudah sulit untuk dikenali lagi sehingga lebih mirip gundukan tanah daripada candi.
Berbeda dengan candi-candi di Jawa seperti Candi Borobudur yang disusun dari bongkah-bongkah batu andesit hitam. Candi-candi di Sumatera, seperti Candi Muara Takus dan Candi Bahal, tersusun atas batu bata merah berukuran kecil. Tidak terkecuali dengan Candi Muaro Jambi.
Meskipun kompleks ini telah ditemukan oleh arkeolog Inggris dua abad silam, Candi Muaro Jambi baru mengalami restorasi pertamanya tiga dekade lewat. Pemugaran yang dipimpin oleh Soekmono tersebut adalah usaha serius pertama untuk mengembalikan bentuk candi yang nyaris rata dengan tanah ini.
Wahyu nampaknya tidak terlalu terkesima dengan teori sejarah. Dengan cuek, dia mendekati beberapa reruntuhan candi dan mengambil gambar dekat-dekat. Rasanya mungkin bagaikan mengambil foto-foto rumah tetangga yang baru saja runtuh terkena gempa bumi.
Tengah hari sudah lewat, saya menelepon tukang ojek untuk menjemput kami. Kurang dari setengah jam kemudian, kedua tukang ojek yang tadi mengantar kami ke sini sudah siap sedia di gerbang masuk untuk mengantar kami kembali ke kota Jambi.