Teruntuk Nenek Hajjah Mulia yang telah berpulang pada suatu siang di hari Jumat.
“Jangan difoto terus. Nenek malu,” katanya sembari terkekeh ketika Aci memotret nenek yang mendiami rumah adat ini. Nenek Mulia namanya. Tidak diketahui pasti berapa umur beliau, ada yang menyebutkan delapan puluh, sembilan puluh, bahkan seratus. Atau mungkin di atas itu.
Di lohor yang terik, Indra dan Adiet melibas jalanan berbatu membawa Aci dan saya mengunjungi rumah tradisional Banjar yang dikenal dengan nama Bubungan Tinggi atau Rumah Baanjung. Sesekali ramailah rumah ini oleh anak-anak sekolah dasar yang melakukan kunjungan studi. Namun lazimnya, Nenek Mulia mendiaminya seorang. Semenjak belia hingga uzur.
Nenek sangat ramah menyambut kami, sembari bersimpuh di kasurnya. Saya bertelanjang kaki menapaki lantai kayu yang dingin mengamati rumah tua dengan pencahayaan remang-remang ini.
Bubungan tinggi wadah raja-raja,
Palimasan wadah emas lawan perak,
Balai Laki wadah penggawa mantri,
Balai Bini wada putri gusti-gusti,
Gajah Menyusu wadah nanang-nanangan.
Singkatnya, Bubungan Tinggi bukan sekedar rumah adat biasa. Ia adalah rumah adat raja-raja. Ada tiga karakteristik dari Bubungan Tinggi, yaitu atap Sindang Langit tidak memiliki plafon, jumlah anak tangga naik selalu ganjil, dan teras rumah diberi pagar berukir. Keunikan lain dari rumah adat ini adalah ukuran panjang dan lebar rumah ini haruslah dalam satuan ganjil, adapun satuan pengukurnya adalah ukuran jengkal dari pemiliknya sendiri.
Bubungan Tinggi juga mempunyai segmentasi ruangan yang menarik. Palatar atau teras merupakan bagian terdepan dari rumah yang dikitari oleh pagar pendek. Bagian dalamnya terdiri dari ruang-ruang kecil yang disebut Panampik. Sementara ruang yang terbesar terletak di tengah-tengah rumah dinamai Palidangan. Kadangkala masih ada beberapa ruangan lain seperti Padapuran dan Pajijiban.
Ketika berkunjung ke rumah ini, saya berbarengan dengan sekitar dua puluh anak sekolah dasar yang nampaknya juga sedang melakukan study tour. Mereka duduk tenang di Palidangan rumah ini sambil mendengarkan guru mereka bercerita. Sementara saya melihat-lihat bagian dalam rumah yang masih memiliki barang-barang kuno dari porselain dan kuningan.
Rumah Bubungan Tinggi serta Gajah Baliku yang bersebelahan ini diambilalih oleh pemerintah daerah sebagai cagar budaya. Hal ini dilakukan untuk melestarikannya, apalagi saat ini banyak rumah adat di Banjar dirobohkan pemiliknya untuk dibangunkan rumah-rumah modern. Salah satu hal yang menarik dibandingkan rumah-rumah adat di provinsi lain, adalah adanya kehidupan di dalamnya. Rata-rata cagar budaya provinsi lain hanyalah berupa rumah kosong yang dipertahankan strukturnya. Sedangkan cagar budaya di Teluk Selong ini kebanyakan masih dihuni oleh masyarakat lokal.