Mampir Dulu di Rumah Betang

Meskipun sudah berulang waktu menginjakkan kaki di Bumi Khatulistiwa, pengetahuan saya mengenai pedalaman Kalimantan Barat boleh dibilang masih sangat cetek. Jadi jangan heran apabila berbicara soal budaya Dayak, maka satu-satunya rumah adat yang pernah saya lihat adalah replikanya yang berada di jantung kota Pontianak, terselip tidak jauh dari jalan protokol Ahmad Yani. Masyarakat Dayak menyebut rumah ini dengan nama Rumah Betang atau Rumah Radakng.

Meskipun diwujudkan serupa dengan Rumah Betang yang asli, rumah ini tidak didiami oleh siapapun, melainkan menjadi semacam galeri budaya dan gedung pertemuan bagi masyarakat Dayak. Tiang-tiang panggungnya yang tinggi tidak lagi pula difungsikan sebagai penghalau hewan liar masuk namun telah menjadi lokasi parkir mobil.

“Ini sepertinya kayu ulin,” ungkap saya kepada Connie yang asyik memotret, “Kayu besi khas Kalimantan yang memang sangat kokoh dan cocok untuk membuat bangunan besar seperti ini.”

Connie tidak menanggapi, besar kemungkinan ia juga tidak paham jenis-jenis kayu. Saya pun menuju ke lantai dua melalui sebuah tangga yang berada di ujung kanan rumah kayu ini. Tangga itu terpaku mantap tanpa mengeluarkan suara derak-derak, walaupun permukaannya telah diselimuti oleh debu kelabu tebal pertanda jarang dibersihkan.

Saya berjalan pelan menjaga keseimbangan menuruni anak tangga yang berada tepat di tengah-tengah bangunan kayu ini. Alih-alih terpesona dengan klaim teman Dayak saya yang ibarat reklame ketangguhan kayu ulin, saya justru ragu-ragu melangkah. Pasalnya sekuat apapun kayu ulin, lebarnya yang sebatas sejengkal terkesan cukup beresiko jika dipijak.

Di kaki tangga Rumah Betang, saya duduk setengah berjongkok. Sembari tertawa, Connie menjepretkan kameranya dan kemudian memungkas kunjungan kami siang itu, “Nah di sana bagus potretnya. Ayo kita jalan lagi ke Rumah Radakng yang jauh lebih besar di seberang sana.”