Sawah Jaring Laba-Laba

Sawah. Ya, cuma sawah. Tetapi ada satu alasan menarik yang membuat saya dan Lomar rela merogoh kocek Rp 50.000 untuk menyewa angkot dari kota Ruteng ke desa Cancar. Berbeda dengan pola sawah yang ada di Jawa, sawah yang terdapat di Manggarai mempunyai pola yang mirip jaring laba-laba, yaitu melingkar dengan titik pusat tepat di tengah.

Tentu saja bentuk ini tidak akan terlihat apabila kita saksikan dari bawah. Untuk menyaksikan polanya, kita perlu mendaki sebuah bukit dan melihatnya dari atas. Spiderweb, demikian sebut orang-orang bule yang berkunjung ke tempat itu. Hingga kemudian sawah di Manggarai spontan populer dengan sebutan sawah jaring laba-laba.

Angkot berhenti di kaki bukit yang sepi. Di bawah sana hanya nampak seekor kuda. Tidak ada siapapun di kaki bukit itu. Kami melihat sekeliling dan mendaki undakan menuju ke perkampungan. Beberapa anak kecil nampak senang sekali melihat kedatangan kami berdua. Mereka menarik-narik lengan saya untuk menuju ke rumah mereka.

Sesampainya di rumah tersebut, kami berbincang-bincang dengan ibu pemilik rumah tentang maksud kedatangan kami. Ibu itu meminta kami menulis nama di buku tamu, kemudian kami pun memasukkan sejumlah uang ke kotak sumbangan. Segera setelah itu, tiga orang anak menuntun kami berdua untuk mendaki bukit dan melintasi tengah-tengah perkebunan.

Butuh waktu sekitar lima belas menit untuk tiba di titik atas. Dari sana terlihat jelas sekali pola sawah jaring laba-laba yang dikagumi oleh banyak wisatawan asing tersebut.

“Apakah di Jawa tidak ada sawah?” tanya seorang anak yang paling besar.

“Ada. Tapi bentuknya tidak seperti ini,” jawab saya sembari tertawa, “Sawah di jawa bentuknya seperti undak-undakan atau bentuknya bujursangkar saja.”

Anak-anak itu mengantar kami ke empat titik berbeda di bukit tersebut untuk memandang sawah-sawah tadi dari berbagai sudut. Puas mengabadikan beberapa puluh gambar, saya dan Lomar minta diantar kembali ke kampung mereka. Melewati jalan yang sama kami pun turun ke perkampungan.

Sebelum berpisah, saya memberikan uang sepuluh ribuan ke masing-masing anak. “Nih buat beli buku pelajaran,” kata saya sesuai pinta mereka meskipun saya ragu apakah mereka mengenyam pendidikan formal. Dengan langkah cepat, kami pun bergegas kembali ke kota Ruteng karena siang ini akan ada kendaraan yang menjemput kami untuk petualangan berikutnya menuju ke kota Ende.