Menyeberangi Selat Sunda

Suara penyanyi dangdut itu melengking seakan-akan kurang minuman berserat. Sudah dua jam di tengah ombang-ambing pasase Selat Sunda, saya dipaksa untuk duduk diam mendengarkan nyanyian yang sekenanya itu sembari memeluk tas ransel. Apa mau dikata, dangdut adalah satu-satunya hiburan yang tersedia di atas dek kapal ini.

Perjalanan dari Jakarta berhenti sesaat saja di Merak, tempat di mana kami berkesempatan untuk meluruskan kaki turun dari bus. Berita bagus seharusnya. Namun sesudah dua jam berlalu, kapal berkarat yang penuh sesak ini terasa jauh lebih buruk daripada bus.

Dua jam sisanya, saya lebih memilih menghabiskan waktu bersandar di buluh-buluh besi berkarat menatap ke lautan lepas di seberang sana. Malam itu begitu gelap tidak nampak sesuatu apapun di lautan yang terlihat agak tenang ini.

Pendar-pendar cahaya kecil di seberang selat menyiratkan harapan dadakan. Nampaknya kami sudah hampir bersandar di Bakauheuni. Saya melirik ke arloji. Hampir pukul empat pagi. Selamat datang di daratan Sumatera, saatnya memulai petualangan berikutnya.