Saya tidak tahu, dari sekian banyak bukit di Majene manakah yang pemandangannya paling bagus. Untuk kebebasan memilih satu ini biarlah saya oper ke Onie. Dia pasti lebih tahu. Dibawanyalah saya ke puncak sebuah bukit tepat di belakang dermaga.
Berjalan melintasi setapak yang diapit rerumputan tinggi, tibalah kami di puncak bukit. Dari atas terlihat hampar kota Majene beserta garis batas laut yang biru cerah. Sementara saya membelakangi matahari terbenam yang bersinar apik di balik perbukitan berumput rendah.
Di Jawa, bukit yang sama akan mempunyai loket di pintu masuknya dan pengelola pekarangan ini akan menamainya Bukit Teletubbies. Namun di Majene bukit ini tidak lebih dari bagian kota. Jangankan karcis masuk, tidak ada orang yang peduli.
Terbenamnya matahari memberi saturasi warna biru langit. Semburat jingga menghasilkan kontras dan menghadirkan cakrawala dua warna di hadapan saya. Momen singkat ini mengingatkan kepada matahari terbenam yang pernah saya saksikan di balik Pegunungan Himalaya di desa Nagarkot, Nepal, beberapa tahun yang telah lewat.
Ini bukan Himalaya. Bukan pula dataran dingin Nagarkot. Saya berdiri di Majene, pesisir Sulawesi Barat yang tidak glamour, mengobservasi keindahan yang serupa. Perlahan-lahan langit menjadi gelap redup menyisakan secercah cahaya.
Onie mengajak saya untuk bergegas turun. Tentu saja karena dia harus berbuka puasa.