“Kak, airnya kayanya naik deh. Tadi sepeda motor kita baik-baik saja kah?” tanya Elza ketika kami berdua sudah berjalan sedemikian jauh di balik bukit, menyisir Pantai Air Manis. Saya tidak menjawab. Pohon kelapa yang runduk melengkung terlihat sudah terbenam sebagian, seharusnya itu menjadi isyarat yang baik bahwa air laut sudah cukup tinggi untuk menelan pantai.
Benar saja. Ketika kami tiba di paparan bukit, barulah terlihat sepeda motor di kejauhan sudah berada di tengah-tengah genangan yang pelan-pelan masih terus naik. Sontak saya berlari untuk menyelamatkan kuda besi itu dari air asin. Elza pun berlari mengikuti sambil tertawa terbahak-bahak.
Dengan air yang baru menyentuh pergelangan kaki, sepatu saya terbenam tuntas di rendam genangan air laut. Sementara Elza yang mengikuti malah asyik memotret saya yang berusaha mengangkat motor yang sudah terseret beberapa meter dan rodanya terendam di gundukan pasir. Gelak tawanya yang kenceng memenuhi seantero pantai yang sunyi sepi pada siang hari itu.
Beruntung tidak memerlukan waktu lama untuk mengamankan sepeda motor ke pinggiran. Hanya saja di lain waktu mungkin kita harus berpikir lebih panjang sebelum memarkir sepeda motor di papar pantai seperti yang baru saja terjadi.
Saya berjalan setengah menyeret kaki ke arah bebatuan hitam yang terserak di sepanjang pantai. Lantas dengan sabar melepas sepatu dan mengeringkan ujung celana panjang di bawah matahari siang. Untung sepatu tua saya itu memang sudah saatnya diganti dengan yang baru.
Elza tertawa keras-keras melihat saya agak kewalahan. Namun kami berdua masih punya banyak agenda untuk melewatkan lohor yang panas itu, tentunya lantaran kami belum menghampiri bongkah-bongkah Batu Malin Kundang yang ada di ujung sana.