Dua ratus kilometer dari Kota Banjarmasin, mobil yang membawa kami berempat berhenti di tepi jalan. Teman-teman saya bergegas keluar untuk menjalankan ibadah sholat di salah satu masjid yang terletak di pinggir jalan provinsi. Sementara saya berjalan-jalan meluruskan kaki sembari melihat-lihat suasana sekitar.
Ini Amuntai, kota yang terkenal dengan itik dan kerbaunya.
Tetapi yang jelas hari ini saya tidak punya kesempatan untuk menjelajah. Mobil hanya berhenti sebentar di tepi jalan untuk memberi kesempatan untuk teman-teman saya menunaikan ibadah, sementara saya sibuk mencari makanan kecil di warung. Suasana kota menjelang maghrib juga boleh dibilang sangat sepi sunyi, tidak banyak kendaraan lalu lalang.
Amuntai terletak di jukung antara Sungai Tabalong, Sungai Negara, dan Sungai Balangan. Ada tiga sungai yang bertemu di kota yang kini mengkomando sebuah kabupaten bernama Hulu Sungai Utara ini. Pada era Belanda, kota ini disebut dengan nama Amoenthaij yang merupakan satu desa teduh di sebalik Pegunungan Meratus.
Perjalanan dilanjutkan menuju ke Tabalong. Teman-teman saya melompat masuk ke mobil untuk melanjutkan perjalanan yang masih panjang ini. Langit pun perlahan menjadi kelam, sementara mobil ini melaju kembali menyusuri sepinya jalan raya yang beraspal mulus.