“Buat apa merdeka kalau hanya sedikit orang saja yang menikmatinya? Buat apa merdeka apabila nanti masyarakat tidak sejahtera?” pria legam berambut putih awut-awutan itu menyeringai lebar memperlihatkan gigi-giginya yang rompal-rompal tidak karuan. Dia duduk di kiosnya tidak jauh dari garis perbatasan dua negara di Skouw.
Skouw adalah kampung terakhir di sisi Indonesia yang berbatasan langsung dengan Wutung di sisi Papua Nugini. Sebagaimana mestinya, di garis perbatasan tentu kemerdekaan Papua Barat adalah isu sentitif. Namun Bapa Elias boleh jadi benar, ketika beliau melihat ke seberang timur sana yang kehidupannya jauh lebih buruk daripada di bawah otonomi khusus Indonesia barangkali kemerdekaan bukanlah sesuatu yang memikat.
Di bawah Presiden Joko Widodo, Skouw saat ini sedang mengalami akselerasi pembangunan tercepat yang pernah dilihatnya sepanjang masa. Sebuah pos lintas batas yang megah dibangun di perbatasan, akses jalan beraspal pun menghubungkan Skouw dengan Kota Jayapura yang terpisah jarak sejauh 44 kilometer. Belum lagi kawasan teluk nantinya akan mampu dijangkau dengan lebih singkat seusai pembangunan Jembatan Holtekamp yang bakalan membentang sejauh tujuh ratus meter.
Wajar apabila Bapa Elias punya harapan besar, bahwa kampung halaman kesayangannya pada akhirnya akan mengalami pembangunan. Sesuatu yang barangkali sudah mereka tunggu-tunggu sejak zaman Soeharto. Setidaknya di Skouw sini sudah ada sekolah, rumah sakit, pasar, dan belakangan pemerintah juga membangunkan rumah-rumah layak huni di perbatasan. Dan menurut Bapa Elias, semua itu sudah lebih dari cukup untuk dirinya.
Saya menyerahkan selembar uang sepuluh ribuan dan menerima sebotol kecil air mineral, harga yang relatif mahal namun di sini saya belajar untuk tidak berpikir dengan standar Jawa. Saya meninggalkan Bapa Elias yang nampak begitu ceria pagi itu, dengan senyum terus merekah di wajahnya. Sepeda motor kembali saya geber mendekati pos penjagaan tentara.
Dua orang tentara berpakaian loreng-loreng nampak sedang menginterogasi satu bak penuh orang-orang Papua Nugini yang baru saja melintas. Mereka menyuruh orang-orang Papua Nugini tersebut untuk turun dan membuka tas-tas mereka. Saya hanya memandangi dari jauh menunggu antrean untuk bisa melintas. Terlihat wajah-wajah lega dari para pendatang Papua Nugini itu ketika kedua tentara membiarkan mereka melanjutkan perjalanan.
“Bapak,” tanya saya kepada seorang tentara yang terlihat lebih tua daripada yang lain, “Apakah saya bisa masuk hanya untuk melihat-lihat perbatasan saja?”
“Dari mana, Pak?” tanyanya balik, “Silakan tinggalkan KTP di sini.”
“Saya dari Solo, Pak!” jawab saya. Dia mengangguk dan memberi isyarat saya untuk melanjutkan perjalanan.