Dari Aliran Sungai Mahakam

Indonesia punya daftar panjang hewan dilindungi, namun di urutan nomor satu spesies yang paling terancam punah di nusantara ini adalah Lumba-Lumba Irrawaddy atau Pesut Mahakam (Orcaella brevirostris). Kabarnya di alam bebas hanya tersisa lima puluh ekor spesies ini yang secara virtual hewan ini sudah dipastikan sudah sangat dekat menuju kepada kepunahan.

Itu saja yang saya ingat dari bangku sekolah perihal Sungai Mahakam. Tidak tahu lagi berapa banyak pesut yang tersisa di sungai ini, yang jelas mereka belum sepenuhnya punah lantaran beberapa orang sempat memotretnya di sungai ini beberapa tahun silam. Namun bukan itu. Bukan tentang pesut yang ingin saya bahas pada tulisan kali ini.

Layaknya daerah-daerah lain di Kalimantan yang hidup dari sungai, Sungai Mahakam menjadi urat nadi Kalimantan Timur. Dari muara yang berada di ujung pantai selepas Kota Samarinda, Sungai Mahakam mengular sepanjang 920 kilometer hingga penghujung Kabupaten Kutai Barat. Di papar sungai inilah kehidupan Kalimantan Timur tumbuh dan berkembang. Desa-desa Dayak tumbuh dan menjamuri paparan sungainya, termasuk kampung-kampung seperti Melak hingga Long Bagun.

Kehidupan yang menjamur di kanan-kiri Sungai Mahakam membawa nama bagi muara-muara sungai ini. Dari ujung Samarinda hingga Kutai Kartanegara, disebut dengan istilah “loa”. Dari sanalah muncul nama-nama daerah seperti Loa Janan, Loa Kulu, dan Loa Bakung. Sementara dari Kutai Kartanegara hingga Kutai Barat, wilayahnya disebut “muara”, hingga muncul nama-nama seperti Muara Pahu, MUara Kaman, dan Muara Muntai. Sementara di daerah paling ujung, mulai dari Kutai Barat ke hilir disebut dengan istilah “long” seperti dalam Long Apari, Long Bagun, dan Long Pahangai. Yang mana ini merupakan sistem penamaan yang sangat unik.

Baik Loa, Muara, dan Long bermakna sama, yaitu badan air yang berkumpul, bisa berbentuk danau atau telaga.

Dari atas Jembatan Mahakam saya memandang jauh ke arah Islamic Center Samarinda yang mendominasi lanskap pesisir sungai. Bangunan megah berwarna krem tersebut membuat saya terpaku, sementara lalu lalang kendaraan melintas di belakang saya begitu abai.

“Meskipun daerah-daerah pesisir Sungai Mahakam begitu rendah, bahkan terlihat mepet, daerah sini jarang banjir,” terang Pak Sapri yang saya temui siang itu, “Cuma entah kenapa tahun ini banjir besar melanda. Padahal tahun-tahun sebelumnya relatif jarang air sungai bisa naik sampai ke atas sini.”