Sudah lebih tiga jam lewat di Banjarmasin. Sementara awan hitam seakan tak bosan-bosannya memayungi sedari kedatangan saya siang tadi. Matahari baru saja terbenam ketika saya berjalan seorang diri menggendong ransel hitam menyusuri perkampungan di pelipir Sungai Martapura.
Kota Seribu Sungai, begitulah kata mereka. Namun di antara seribu sungai tersebut, ada satu yang benar-benar esensial bagi Banjarmasin, Sungai Martapura. Pasalnya Sungai Martapura ini adalah sungai utama yang membelah ibukota Kalimantan Selatan tepat di tengah-tengah. Selain posisinya yang sentral, sungai ini juga mempunyai peran besar sebagai jalur transportasi.
Suasana sempat gelap sesaat, sebelum lampu-lampu listrik di tepian sungai satu per satu mulai dinyalakan oleh pemiliknya. Pendarnya terpantul pada permukaan Sungai Martapura yang bening kecoklatan. Tak jauh dari situ berdirilah Jembatan Truss yang nampak miskin cahaya. Beberapa sepeda motor melintas di atasnya, namun suasana awal malam itu relatif sepi.
Saya melangkah ke atas jembatan tersebut, di bahunya terdapat pasase pejalan kaki, kemudian mencabut kamera saku guna mengabadikan suasana malam. Gelapnya keadaan malam ditambah dengan mendung yang menggantung rendah membuat kamera saku saya sempat kesusahan merekam gambar dengan fokus. Sepi sekali. Aneh, mengingat Banjarmasin merupakan salah satu kota terpadat di Indonesia. Bahkan lebih padat daripada Surabaya.
Sesekali kapal-kapal dengan pijar berkerlap-kerlip melintas di bawah jembatan tersebut. Namun romantisme jembatan ini tidaklah sesempurna itu. Lambat laun seiring dengan semakin gelapnya kota suasana jalan pun semakin senyap. Saya kembali melintas di tengah-tengah kesunyian. Yang terdengar saat itu hanyalah suara kaki menapaki besi-besi jembatan.