Batang Danum Kupang Bulan. Demikianlah orang-orang Dayak Ot Danum menyebut nama sungai ini, atau lebih akrabnya Sungai Mentaya. Apabila dibandingkan dengan sungai-sungai lain di Kalimantan, air Sungai Mentaya relatif terlihat lebih tenang. Permukaannya bergetar pelan seakan berusaha meneduhkan hiruk pikuk tepian Sungai Sampit.
Namun siapa boleh sangka, Sungai Sampit adalah salah satu sungai yang dipandang angker. Sungai ini adalah rumah bagi buaya-buaya muara berukuran belasan meter yang mengintai dari dasar sungai. Bahkan tidak jarang buaya-buaya tersebut naik ke daratan dan meresahkan warga sekitar tepian Mentaya.
Keberadaan Sungai Mentaya begitu krusial bagi Kota Sampit. Bahkan slogan kota ini pun tidak dapat dilepaskan dari sungai tersebut, Kota Sampit Kota Mentaya. Tidak hanya karena lokasinya yang membelah Sampit menjadi dua namun juga keberadaan kota ini sebagai jalur masuk bagi kapal-kapal pedagang dari Laut Jawa.
Semakin ke dalam, Sungai Mentaya semakin bervariasi. Badan sungai ini dapat dilayari kapal, meskipun hanya dua pertiganya. Sepertiga sisanya tidak sanggup lantaran menembus rawa-rawa dan terlampau dangkal. Dari Teluk Sampit, sungai ini membujur lurus ke arah utara hingga menusuk ke jantung Pulau Kalimantan sebelum terbagi menjadi sejumlah cabang-cabang sungai yang lebih kecil.
Sungai Mentaya adalah denyut nadi kehidupan bagi masyarakat Sampit. Saya melihat kapal-kapal besar dan kecil lalu lalang di permukaan airnya yang tenang. Kapal-kapal besar pengangkut kayu, barang tambang, dan kelapa sawit nampak berseliweran di ambang kota, dari kawasan perkebunan, pelabuhan kota, hingga keluar ke Laut Jawa.
Dahulu kala ketika Kota Sampit masih belum seramai sekarang, di tepian Sungai Mentaya kerap terlihat penyu yang mendiami kawasan muara bagian selatan. Namun seiring dengan berjalannya waktu, kini kehidupan di tepi Sungai Mentaya adalah masalah pembagian teritorial antara manusia dan buaya.