Burung pertama hinggap di dek kapal. Guratan cahaya malu-malu bersembunyi di balik mendung. Siluet kapal tercetak apik berbaur dengan tenteram perairan Belitung. Awan padat dan pejal berarak tersimak, terpapar cahaya jingga menyala cerah, perlahan redup, dan kemudian padam. Jadilah nyala paling kuat adalah nyala sesaat sebelum mati.
Langit pun terbakar. Meskipun keduanya bertentangan, siang selalu memberikan giliran kepada malam ketika waktunya tiba. Tidak terkecuali di perairan ini. Burung pun terbang, meninggalkan dek kapal.
Suara merepet menyudahi deru mesin kapal yang tadi meraung-raung. Kapal kayu kecil itu pun merapat di sehampar pasir sempit di luasan Selat Karimata. Kami bersepuluh pun bergegas turun dari kapal lantas berlompatan dan berlarian mendaki batu-batu masif yang terserak di paparan pantai pulau kecil ini.
Arfan menegakkan tripod, matanya memicing tajam mengintip dari lubang kamera. Sementara matahari terbenam perlahan meninggalkan bayang memanjang dari batu-batu granit nan masif.
“Kamu berdiri di sana,” kata Arfan menyuruh saya naik ke atas sebongkah batu granit raksasa berpuncak bulat. Sementara Arfan asyik membidikkan kameranya, saya duduk menatap jauh ke arah barat sembari menyipitkan mata menatap benderang cahaya matahari. Langit meredup, berkas jingga meraut di angkasa, berbaur selang-seling dengan semburat biru langit.
Lin berteriak-teriak memanggil kami semua untuk turun. Nampaknya kami harus menjalani satu lagi sesi foto bersama, entah sudah berapa ratus kali untuk hari ini. Saya sebenarnya bukan penyuka pariwisata berorientasi ratusan foto diri, namun sudahlah, apa boleh buat.
“Kali ini kita pasang tampang serius!” ajak Riska. Jadilah kami bersepuluh berdiri berjajar di dalam posisi sempurna tanpa tersungging senyum sedikit pun di wajah. No cheese!