Tidak ada gubuk di sana. Apalagi dari seng. Entah siapa yang pertama kali mulai dengan nama konyol ini. Namun yang saya tahu pasti Gubukseng adalah ruang pandang untuk menatap matahari terbenam di Pulau Sebesi. Dari paparan pantai inilah kami dapat menyaksikan luasan Selat Sunda dengan matahari yang terbenam di baliknya.
Perjalanan menuju ke Gubukseng tidak mudah. Atau lebih tepatnya tidak ada jalan. Dengan sepeda motor, kami harus menerobos hutan runduk dengan pepohonan rimbun pendek-pendek. Salah belok membawa saya berulang kali terperosok ke dalam kubangan yang penuh dengan lumpur cokelat lembek.
Satu jam kami memangkas Pulau Sebesi dengan merintis jalur sendiri hingga akhirnya tiba di Gubukseng. Pantainya jauh dari kata inspiratif, dengan tepian yang berbatu-batu krakal menghiasi setiap sudutnya. Pasir cokelat tersisa sedikit di pangkal pantainya, nyaris tidak terlihat lantaran sebagian besar pantai dibenamkan oleh batu karang.
Bukan pantai yang kami cari tentu saja. Yang kami cari adalah penatapan langsung menuju ke ufuk barat, di mana matahari terbenam dengan latar depan Gunung Krakatau. Itulah momen pertama kalinya saya melihat secara langsung gunung legendaris yang letusannya pernah menewaskan puluhan ribu jiwa ini.
Gunung Krakatau terlihat kecil di seberang sana. Sementara mendung membuat matahari sore bersinar tidak terlalu benderang sehingga siluet gunung tidak tercetak dengan apik. Saya berdiam di sana bersama beberapa teman. Nampaknya mereka sibuk untuk berfoto sendiri-sendiri tanpa mempedulikan bahwa matahari terbenam tidak nampak elok.
Langit sudah gelap. Kami bergegas kembali melewati jalan yang, sepertinya, sama. Entahlah. Malam itu terlampau gelap untuk kami bisa memahami apakah kami sudah melewati jalan yang benar atau belum. Sementara itu makan malam sudah menunggu kami di desa sana.