Saya duduk diam di atas karang. Dari atas bebatuan, perairan Raja Ampat yang tembus pandang menghamparkan pemandangan indah di depan wajah. Seekor bintang laut berwarna biru elektrik menyala nampak bersandar di atas terumbu karang kecoklatan, diam tidak bergerak dari saputan ombak yang malu-malu.
Pak Inyong banyak cerita soal lautan Raja Ampat. Sementara Pak Odigenes diam saja sepanjang perjalanan, sibuk dengan bulir-bulir kelapa yang diangkutnya di perahu lapuk ini.
Raja Ampat memang surga di atas surga di bawah. Dua hari saya menghabiskan waktu untuk menikmati keelokan pantai beserta pulau-pulaunya, menyesap kelapa muda di hamparan lautan lepas, hingga menangkap dan membakar ikan yang kami tangkap di Laut Halmahera. Yang tidak kalah menarik adalah apa yang ada di bawah perairan ini, yang acap terlewatkan dari mata-mata manusia yang awas dari daratan.
Bawah laut Raja Ampat adalah rumah teruntuk seribu lima ratus spesies ikan, enam ribu spesies terumbu karang, dan selusin spesies penyu langka. Panorama bawah airnya yang nyaris belum tersentuh manusia juga membuatnya begitu elok untuk diselami.
Pak Inyong mengibaskan sepatu kataknya, meliuk-liuk melewati karang-karang besar. Beberapa kali ia memanggil saya dan menunjuk-nunjuk ke renik-renik laut yang ditemuinya. Namun tentu saja lantaran berada di bawah air, kami tidak bisa bercakap-cakap.
Laut siang itu terlihat demikian tenang. Gelombang kecil pun berayun-ayun maju mundur seakan sama malasnya dengan kami yang duduk-duduk di hamparan pasir putih. Hari sudah berganti senja, yang artinya waktu kami untuk menjelajah hampir purna.
Pak Inyong melemparkan alat-alat selamnya ke kabin, kemudian mendorong perahu lapuk itu ke perairan dalam dan menghidupkan mesin uzurnya yang mati segan hidup tak mau. Saya berjalan membuntuti. Sudah saatnya kami kembali ke Saleo.