Saya tidak mau berdebat, tetapi menurut saya Tanah Lot adalah tempat terbanyak dipotret di seantero arkipelago. Bahkan apabila mau disanding dengan Candi Borobudur dan Gunung Bromo, saya masih yakin foto-foto Tanah Lot jauh lebih banyak tersebar di poster-poster wisata Indonesia. Tentu saja karena popularitas Bali yang tiada dua.
Dua kali sudah saya ke tempat ini. Pertama kali tujuh belas tahun silam bersama teman-teman sekolah, datang dalam kondisi berdesak-desakan penuh dengan pengunjung, calo, dan copet. Kedua kalinya adalah kali ini, ketika saya menyempatkan diri untukm menyambut matahari terbenam di balik pura anggun yang berdiri atas batu karang.
Secara harafiah, Tanah Lot bermakna daratan di lautan. Sejatinya istilah tersebut memang menggambarkan secara pasti wujud dari pura suci umat Hindu ini, berdiri di atas karang tegar di tengah lautan, dihantam oleh ombak yang silih berganti. Bonusnya adalah sudut pandang dari pantai yang menghadap ke barat, membuatnya menjadi lokasi favorit penyaksian matahari terbenam.
Adalah Dang Hyang Nirartha yang menemukan batu karang ini pada abad ke-16. Dalam perjalanannya ke sisi selatan Pulau Bali, sang pedande membangun sebuah pura setelah bertemu dengan seorang nelayan yang singgah di tepi lautan ini. Sang nelayan menyatakan bahwa sang pedande sebaiknya membangun sebuah tempat pemujaan untuk Dewa Baruna atau Batara Segara, dewa laut.
Bali sendiri sejatinya mempunyai tujuh pura di tepi lautan. Tetapi hanya Pura Tanah Lot yang mencapai status prominensi hingga ke dunia internasional. Masing-masing dari ketujuh pura ini dibangun dalam jarak tertentu sehingga dari satu pura kita bisa menatap pura berikutnya dan seterusnya hingga tujuh pura tersebut membentuk rantai imajiner.
Mitologi juga mengisahkan bahwa di dasar Pura Tanah Lot terdapat ular-ular berbisa yang menjaga selendang milik Dang Hyang Nirartha dari orang-orang asing yang berusaha masuk ke pura ini. Benarkah atau tidak, entahlah.