“Dahulu kami anggap batu-batu besar ini biasa saja,” kata si bapak pembawa perahu, “Kami tidak pernah menyadari kami punya pantai yang indah sebelum orang Jakarta ramai-ramai datang ke sini.”
Seumur hidupnya dihabiskan di Tanah Belitung namun belum pernah terlintas sedikit pun di benaknya bahwa batu besar dan air bening yang melimpah di sana bisa menjadi tujuan wisata. Namun semua telah berubah. Belitung kini dipadati turis pada akhir pekan. Begitu berbeda dengan kesenyapan tanah ini yang saya rasakan delapan tahun lalu.
Penduduk sekitar tentu tidak keberatan dengan sumber penghidupan yang baru itu, sekarang mereka mempunyai pekerjaan ganda selain menjadi nelayan. Tetapi saya merindu kesunyian.
Laskar Pelangi mempopulerkan Belitung. Membawa influks pelancong dari seantero nusantara ke pulau kecil di apitan segitiga Sumatera, Jawa, dan Kalimantan ini. Novel karangan Andrea Hirata yang kemudian difilmkan Riri Riza itu mendongkrak popularitas pulau kecil ini, yang dulu barangkali dikenal tidak lebih dari sebuah “pulau lain di samping Bangka”.
Bongkah-bongkah batu berpermukaan licin itu membara diterpa panas matahari bak penampang wajan, sementara Ruri dan Arfan tidak peduli. Mereka berdua asyik dengan kameranya. Saya hanya duduk diam di bawah naungan sebuah pondok beratap rumbia, menatap ke laut lepas berombak ogah-ogahan. Sedikit menikmati keindahan, sisanya berharap keteduhan sebisanya dari siang yang ganas.
Tanjung Kelayang terletak tidak jauh dari Tanjung Tinggi, keduanya adalah lokasi pengambilan gambar film ikonik Laskar Pelangi. Jangan heran apabila dua pantai yang dulunya terbenam dalam obskuriti kini menjadi selebriti di pesisir barat pulau kecil ini.
“Ke mana kita setelah ini?” tanya Eka tiba-tiba, nampaknya dia juga masih enggan beranjak dari naungan atap rumbia penangkal jerang matahari. Entahlah. Saya cuma menggeleng pelan.