Di Sela Karang Teluk Kabui

Karang-karang terjal berserak di perairannya. Pak Inyong mencekik pemicu kapal motor, disusul suara merepet, kemudian kapal berhenti dan terombang-ambing malas di sela-sela karang. Entah berapa puluh pulau-pulau karang tersebar mengurung kami tidak jauh dari perairan Waigeo.

“Ini namanya Teluk Kabui,” terang Pak Inyong sembari meletakkan sebelah tangan di atas pelipis menghalau cahaya matahari yang bersinar bebas, “Lokasinya sudah paling barat dari Waigeo. Kita kalau ke barat lagi, ada Wayag.”

Sama seperti Pianemo, orang sebut Teluk Kabui adalah Wayag kecil. Teruntuk mereka yang tidak mempunyai waktu dan anggaran yang cukup untuk mengunjungi Wayag, baik Pianemo maupun Teluk Kabui menjadi alternatif yang lumrah.

Kami terombang-ambing di atas kapal yang bergerak pelan, di bawah panas matahari yang tidak terhalang sesuatu apapun. Pak Inyong hanya menggeleng-gelengkan kepala tatkala menyaksikan saya menanggalkan baju, seakan tidak peduli bahwa di dalam waktu singkat sekujur tubuh saya sudah pasti akan terbakar merata.

Kapal kembali bergerak dengan tenaga motornya. Lebih jauh kami bergerak memasuki perairan Teluk Kabui. Pulau-pulau karang terlihat semakin rapat satu sama lain, dinding bagian dalamnya berlumut dan dihiasi sulur-sulur liar.

Teluk Kabui sejatinya tidak pernah didapuk menjadi tempat wisata. Seiring dengan meroketnya popularitas Wayag pada medio dekade silam, sudut-sudut alternatif Raja Ampat ikut dicari orang. Demikianlah penduduk desa kemudian memperkenalkan Teluk Kabui kepada para pejalan jauh. Lambat laun, dikenallah tanah ini.

“Dulu di dalam beberapa gua kecil yang ada di karang-karang ini,” lanjut Pak Inyong menjelaskan ilmu pengetahuan lokalnya, “Pernah ditemukan peninggalan manusia pra-sejarah. Memang boleh jadi daerah ini sudah lama sekali dihuni manusia.”

Apapun itu. Teluk Kabui masih nampak begitu perawan, bersih dari jamahan manusia.