Raung tangis anak kecil itu semakin kencang. Ibunya menarik anak laki-laki berambut keriting itu masuk ke pekarangan, memaksanya untuk mandi. Sementara tangisan semakin lantang dan kemudian si keriting merengek meminta permen yang justru membuat ibunya makin gusar.
“Tarada! Tarada! Tarada gula-gula!” gerutu si ibu tadi sembari menarik anaknya masuk ke dalam bilik di tepi Teluk Mayalibit. Logat Papua yang membuat saya tersenyum. Raja Ampat seyogyanya tidak terlalu kental dengan kultur Papua cekak melainkan boleh dibilang Papua setengah Maluku.
Entah mengapa di Warsanbin ini kok jadi terasa begitu kental.
Pagi itu kami mengambil kesempatan sempit sebelum matahari tinggi di angkasa untuk mendaki sebuah bukit yang terletak tidak jauh dari perairan teluk ini. Perjalanan menuju atas bukit harus melalui setapak berpasir yang mudah ambles. Istilahnya maju dua langkah merosot selangkah.
“Setahu saya sih dulu tidak seperti ini,” kata Pak Jajang menjelaskan, “Mungkin karena sini habis longsor saja jadi tanahnya menjadi gembur dan susah dipijak seperti ini.”
Pak Jajang benar. Bukan hanya gembur. Ternyata jalan setapak depan kami benar-benar tertutup oleh timbunan batu besar, tidak dapat dilintasi. Padahal kami baru setengah jalan menuju ke atap bukit. Apa boleh buat kami harus berpuas diri dengan ketinggian setengah jadi di sini.
Dari atas sini Desa Warsanbin memang terlihat begitu cantik. Awan putih yang tinggal segumpal mengapung di sela-sela dua buah bukit yang membentengi perairan Teluk Mayalibit seakan-akan tersangkut di sana. Sementara rumah-rumah yang jumlahnya tidak seberapa nampak mengitari lapangan bola yang seadanya.
“Desa ini dulu jarang dikunjungi kecuali oleh mahasiswa Makassar yang KKN,” terang Pak Jajang sembari membersihkan pasir yang mengotori alas kakinya, “Tetapi semenjak dibangun jalan dari Waisai, beberapa traveler pun mulai suka main ke sini.”