Tembok Berlin Kota Sorong

Entah lelucon siapa yang pertama kali menyebutnya sebagai Tembok Berlin. Namun demikianlah nama yang tenar di Kota Sorong untuk menyebut sebuah tembok yang membentengi kota ini dari lautan. Tembok Berlin model Sorong ini pada awalnya memang dibangun untuk mencegah abrasi, agar jalan raya terlindungi dari lamunan ombak yang terkadang suka kelewat batas.

Hari ini saya berencana untuk terbang kembali ke Jakarta, lewat sebuah singgahan singkat di Kota Makassar. Tidak ada rencana apapun sebelumnya untuk mengisi siang yang panas di Sorong ini maka jadilah saya melewatkan hari dengan duduk-duduk diam di tepi pantai.

“Di Sorong memang banyak sekali pendatang,” ucap bapak yang melayani saya di warung Soto Lamongan yang terletak tidak jauh dari gedung gereja, “Di sini banyak orang Bugis, kemudian Jawa dan Minang.”

Sorong bukanlah kota yang besar, namun yang jelas ramai dan akan semakin ramai saja di masa depan. Sebagai pintu gerbang kontainer yang akan masuk ke seantero wilayah Papua, tidak mengherankan apabila kota ini merupakan jalur lalu lintas perkapalan yang paling meriah di Papua. Pukul dua belas siang, saya angkat kaki dari kota ini, mencari angkot menuju bandara untuk penerbangan ke Makassar.