Kijang ringkih itu berhenti di simpang jalan kecil. Walaupun tidak nampak demikian, saya yakin inilah pusat kota Singkawang. Salahkan saya apabila tadi saya yang meminta kepada si sopir dari Pontianak untuk menurunkan saya di pusat kota. Tanpa banyak bertanya, saya pun turun di simpang jalan kecil yang sepi ini.
Toa Pe Kong, atau orang menyebutnya Tepekong, inilah sejatinya sentral kota Singkawang.
Selama berabad-abad, Singkawang tumbuh dari Tepekong. Perkampungan para pencari emas Monterado yang berpusar di klentheng tua ini meluas dan meluas, hingga akhirnya membentuk sebuah kota. Lama berselang, perkampungan Singkawang bertransformasi menjadi kota terbesar kedua di Kalimantan Barat setelah Pontianak.
Tepekong bukanlah klentheng besar. Ukurannya mungkin tidak lebih dari selapang toko barang kelontong di seberang jalan itu. Namun bangunan kecil ini menyimpan histori dan kepentingan yang luar biasa bagi kota kecil dengan penduduk mayoritas dari etnis Tionghoa ini.
“Nanti di Singkawang, jangan lupa foto di Tepekong dan Monumen Naga,” pesan Hadary melalui media sosial sesaat sebelum saya berangkat ke kota kelahirannya.
Demikianlah saya meminta Rizal, kawan sepermainan Hadary, untuk mengabadikan gambar saya berpose di hadap lapang klentheng bersejarah ini. Teruntuk kota kecil yang sunyi senyap seperti Singkawang, tentu tidak susah mendapatkan momen tanpa kendaraan melintas.
Meskipun jauh dari kesan gambar yang baik, saya harus berpuas diri lantaran pada hari itu saya hanya membawa sebuah ponsel jadul untuk menemani perjalanan singkat ini. Apa boleh buat.
“Setelah ini kita berjalan ke luar kota,” ajak Rizal, “Tidak jauh dari Singkawang ada Gunung Pasi dan Pantai Panjang. Nanti kita lihat saja bagian mana yang kamu sukai dari kota ini. Seharusnya satu hari cukup untuk bisa menjelajah isinya.”