Sisa Kejayaan Nusa Timah

Batangan timah itu terasa agak dingin tatkala bersentuhan dengan punggung tangan saya yang terbakar matahari. Stempel ‘Banka’ terpahat jelas pada salah satu penampangnya. Trademark, kata mereka, untuk timah kualitas terbaik yang pernah ada di nusantara.

Timah Bangka sempat menghidupi dunia. Dari kaleng sarden hingga kakas elektronik. Banka Tin Winning Bedrijf pernah mengeruk stannum-stannum yang terpendam di nusa ini, dilanjutkan oleh PT. Timah (Persero) selama empat dekade berikutnya. Eksploitasi besar tiga abad meninggalkan kolong-kolong besar di seantero Bangka dan sebuah pekerjaan rumah bernama kerusakan lingkungan.

Secara de facto timah Bangka sudah habis. Segala cerita kedigdayaan Nusa Timah boleh dibilang hanya memoar masa lalu yang kini menjadi lembar-lembar catatan di museum. Menarik melihat bagaimana Provinsi Bangka Belitung menopang perekonomian pos-timah sesaat lagi. Saat ini delapan belas persen pendapatan provinsi ini masih bergantung kepada tambang yang sudah mendekati titik nadir itu.

Indonesia sendiri merupakan superpower di dalam dunia pertimahan. Sebanyak delapan puluh persen bijih timah di dunia merupakan produk nusantara, jauh meninggalkan Malaysia yang berada di posisi kedua. Di seantero nusantara, kawasan penyumbang bijih timah nomor satu mana lagi jika bukan Pulau Bangka yang bahkan menyandang status sebagai Nusa Timah.

Seumur-umur Bangka hidup dari timah. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa timah di tanah Bangka sudah menipis hingga pertambangan pun lambat laun dialihkan ke laut lepas, di mana diyakini deposit-deposit timah masih melimpah. Entahlah.

Timah memang menghidupi Bangka namun perlahan-lahan juga membunuhnya. Influks ekonomi yang melimpah ternyata harus dibayar dengan kerusakan ekologi yang tidak kalah besarnya. Alam Pulau Bangka rusak akibat dikeruk besar-besaran oleh para penambang, baik perusahaan besar maupun penambang individu ilegal. Apabila anda terbang rendah melintasi Pulau Bangka, maka anda dapat melihat pulau ini penuh dengan rongga-rongga besar berwarna kecoklatan. Sebuah bom waktu.

“Yang saya khawatirkan adalah nyamuk,” ungkap Pak Sidik yang menjaga hotel tempat saya menginap di Pangkalpinang, “Rongga-rongga besar yang ditinggalkan oleh PT Timah itu ketika musim hujan menampung air yang kemudian jadi tempat berkembangbiaknya nyamuk. Jangan heran apabila wabah malaria dan demam berdarah semakin banyak di sini.”