“Selamat datang di Loh Buaya,” tiga orang ranger berpakaian serba hijau pupus menunggui kami sembari duduk-duduk santai di jembatan dermaga. Saya melempar senyum dan melambaikan tangan ketika kapal kayu lapuk ini mulai merapat ke dindingnya.
Seperti yang sudah kami duga sebelumnya, kamilah pengunjung pertama pulau ini. Seorang ranger yang, apabila saya tidak salah dengar, memperkenalkan diri sebagai Usman mengantar kami menuju ke kantor taman nasional yang terletak tidak jauh dari dermaga. Di sepanjang jalan terlihat bibit-bibit pohon yang baru ditanam dan beberapa ekor monyet liar di sekitarnya.
Lomar langsung diminta untuk mengisi buku tamu dan membayar ongkos tiket masuk, sementara saya memotret sana-sini. Mata saya menyapu ke daftar nama yang terdapat di buku tamu tadi, terlihat bahwa kebanyakan pengunjung adalah wisatawan asing. Bukan hal yang aneh sejujurnya.
“Sebenarnya sekarang sudah mulai banyak kok wisatawan Indonesia,” kata Usman tiba-tiba, “Tetapi ya begitu, orang Indonesia terutama ibu-ibu, kalau ke pulau ini mereka datang, foto-foto sama komodo dan terus pulang. Tidak seperti bule-bule itu, sesekali ke sini mereka akan menjelajah pulau dan mempelajari kehidupan komodo di habitatnya.”
Jangan salah. Hari ini Lomar dan saya memang berniat mengikuti gaya para bule.
“Kami mau trekking, Pak,” jawab saya cepat-cepat agak menyela. Usman pun menjelaskan beberapa opsi trekking yang ada dan kami pun memilih rute sedang yang berdurasi dua jam.
“Tetapi sebelum kita berangkat, ada beberapa peraturan yang harus kalian patuhi,” sahutnya. Kami pun duduk diam selama sepuluh menit dikuliahi dengan beberapa protokol yang harus dilakukan selama berada di pulau komodo. Bekal yang diberikan kepada kami hanyalah sebilah tongkat panjang ujung besi bercabang. Itu saja.
“Nanti kalau komodonya menyerang, kalian hentikan dengan tongkat ini. Ganjal kaki depannya,” pungkas Usman. Kami hanya mengangguk pura-pura mengerti.