Jejak Manusia Purba Tomori

Kapal dibelokkan merapat ke sebuah dinding kapur di kaki tebing. Mesin dimatikan. Tidak sesuai rencana memang. Namun kami harus ke sini untuk menyaksikan salah satu tampilan menarik dari Teluk Tomori. Tebing-tebing kapur menjulang puluhan meter di hadapan saya bak etalase yang memamerkan cap-cap tangan manusia purba.

Ya. Cap tangan layaknya yang kita saksikan di Leang-Leang. Di Teluk Tomori bekas-bekas peninggalan manusia purba juga berserak di mana-mana, pada setiap sudut teluknya. Jejak arkeologi inilah yang menjadi sebuah misteri menarik untuk diteliti.

“Apabila bicara soal mitologi maka cap tangan itu juga punya cerita,” ungkap Pak Gatot memecah keheningan, “Di dinding kapur ini terdapat cap tangan kanan sedangkan di dinding kapur sebelah terdapat cap tangan kiri. Menurut mitos dulunya dinding ini rapat satu sama lain, namun seorang yang sakti mendorongnya dengan kedua tangannya hingga mereka terpisah sedemikian jauh. Meninggalkan bekas tangan di kedua sisi tebing.”

Kedua sisi tebing saling berhadap-hadapan, terpisah hampir dua kilometer. Masing-masing mempunyai cap seukuran tangan manusia dewasa yang dikelilingi oleh semburat warna merah, entah dari mana.

Saya mengamati lekat-lekat bekas telapak tangan tersebut. Tertempel begitu saja di tinggian tebing. Entah bagaimana cara manusia pada zaman purba memanjatnya untuk menggambar di atas sana.

Saya jadi teringat kepada catatan Van Heekeren di dalam bukunya. Sang arkeolog mengisahkan bahwa cap tangan manusia purba di nusantara banyak yang dilukiskan untuk memaknai kematian. Cap-cap telapak tangan menggambarkan para arwah yang sedang meraba-raba jalan menuju ke dalam kehidupan setelah kematian. Di dalam beberapa budaya purba, cap telapak tangan juga dapat dimaknai sebagai ungkapan bela sungkawa dari keluarga yang ditinggalkan.

Entahlah. Saya bukan arkeolog dan barangkali saya tidak akan pernah mendapati makna dari lukisan purba di Teluk Tomori ini, namun cukup aman untuk disimpulkan bahwa makna dari cap telapak tangan ini selaras dengan catatan Van Heekeren. Pelan-pelan mesin kapal pun kembali dihidupkan, kami berputar menjauh.