Tidak pakai muter-muter. Saya dan Lomar bangun pagi-pagi. Tanpa ada komando, kami berdua langsung bergantian mandi, membereskan tas, dan menyantap sarapan. Kurang dari tiga puluh menit, kami berdua sudah siap sedia di halaman depan hotel. Inilah enaknya ketika dua orang solo traveler memutuskan jalan bersama. Nyaris tanpa berbicara sepatah kata pun, kami berdua siap untuk melanjutkan perjalanan.
Hari itu kami berangkat ke Labuan Bajo, pucuk barat Pulau Flores. Dua lembar tiket pesawat plat merah sudah di genggaman, sementara beban bawaan kami masing-masing hanya satu ransel.
Bali cukup akrab dengan saya. Apabila boleh dihitung berapa kali saya pernah ke Bali, maka jari kaki pun tidak akan cukup untuk membantu perhitungannya. Bukan semata-mata karena Bali adalah lokasi wisata paling mudah di saat malas berjibaku dengan kerumitan, namun juga karena Bali adalah titik transit Nusa Tenggara. Itulah mengapa persinggahan satu malam sudah lumrah.
Berdua bersama Lomar, saya berjalan santai menyusuri perkampungan sunyi Kuta menuju Bandar Udara Internasional Ngurah Rai. Matahari pagi yang belum sepenuhnya keluar menemani langkah panjang kami menuju destinasi berikutnya, Labuan Bajo.