Tugu Khatulistiwa Pontianak

Sejarah merekam bagaimana tonggak-tonggak itu ditancapkan untuk menandai suatu nilai. Tentu bukan tonggak itu sendiri yang bernilai, melainkan cerita yang dicoba untuk dikisahkan. Sesaat setelah umat manusia menyadari bentuk bumi ini bulat, teranganlah sebuah lini imajiner yang membelah planet ini menjadi dua bagian, utara dan selatan. Evenaar, demikian orang Belanda menyebutnya.

Delapan puluh empat tahun silam, satu tim ekspedisi Eropa yang diketuai ilmuwan Belanda berangkat ke Pontianak untuk mencari garis evenaar tersebut. Tibalah mereka di sebuah tanah rawa di tepi Sungai Kapuas, lima kilometer keluar kota Pontianak, dan menancapkan patok. Tonggak Khatulistiwa. Kemarin saya berkesempatan untuk mengunjungi secara langsung tempat tersebut.

Mendung menggantung rendah di kawasan Siantan siang itu. Sementara oplet yang saya tumpangi penuh sesak dengan para pedagang buah. Pandangan saya terhalang dan nyaris melewatkan tugu besar yang terletak tepat di kiri jalan ini. Tugu Khatulistiwa sebenarnya cukup mencolok, selain karena ukurannya yang besar, juga karena bentuknya yang mirip menara pemancar. Hanya saja pelataran kompleks ini nampak kurang terawat, mirip halaman SD Inpres!

Tugu Khatulistiwa dibangun arsitek kebanggaan Indonesia, Friederich Silaban, tahun 1938. Tugu setinggi lima meter ini dibangun dengan menggunakan kayu belian, atau kayu besi yang merupakan kayu kualitas terbaik dari Kalimantan. Namun karena dikhawatirkan rusak, pada tahun 1990, pemerintah membangun sebuah kubah untuk melindungi tugu tersebut. Di atas kubah tersebut dibangunkan sebuah replika Tugu Khatulistiwa yang ukurannya lima kali lebih besar daripada tugu yang asli. Kubah itu kini dimanfaatkan sebagai museum.

Setiap tanggal 23 Maret dan 23 September terdapat acara besar di tugu ini, yaitu peristiwa melintasnya matahari di ekuator. Sekitar pukul 11.40, bayang-bayang tugu ini akan lenyap selama beberapa menit karena matahari berada tepat di atasnya. Sewaktu acara digelar ribuan orang memadati kompleks ini. Adapun Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia yang dilintasi oleh garis khatulistiwa. Ada sepuluh negara lain yang juga dilintasi garis khayal ini, yaitu Gabon, Somalia, Uganda, Kenya, dan Zaire di Afrika, serta Ekuador, Peru, Kolombia, dan Brazil di Amerika Latin.

Meskipun monumental, Tugu Khatulistiwa miskin atraksi. Nyaris tidak ada apapun yang membuat orang ingin mengunjungi monumen ini untuk kedua kalinya. Ini adalah once in a lifetime experience. Saya pun rasanya demikian, sekali berkunjung sudah cukup. Istimewa sih, tapi cukup sekali saja.