Menerawang melalui kaca mobil yang berbintik-bintik oleh hujan, mata saya tidak bisa lepas dari sebuah rumah tua beratap kembar di seberang danau. Beberapa tahun lewat, saya acap melintasi jalan raya Pangalengan dan bertanya-tanya ihwal rumah ini.
Sepuluh tahun berlalu, saya kembali ke tempat ini. Namun baru kali ini saya berkesempatan untuk singgah dan mendekatinya. Usai memarkirkan mobil di tepi danau, saya melangkah masuk ke pekarangannya, melompati sebuah portal rendah yang menghalau para pemarkir kendaraan.
Tidak terlihat ada orang di dalam sana. Pintu pun terkunci. Yang menarik perhatian saya hanyalah sebuah kamera CCTV yang terpasang di salah satu sudut dindingnya, mengarah tepat ke pintu masuk villa. Di belakang villa terdapat sebuah gubuk kayu dengan asap tipis mengepul tenang dari sebuah kompor di depannya.
“Orang sini menyebutnya Villa Jerman,” ucap seorang bapak tua yang saya tidak tahu namanya seraya menyesap rokoknya, “Karena dulu ini memang punya orang Jerman.”
Susah untuk mendapatkan narasi historis mengenai bangunan unik ini. Arsitekturnya yang eksotis meyakinkan saya bahwa sebenarnya ia punya banyak cerita, namun entahlah, siapa yang masih memegang cerita-cerita itu. Yang dapat saya temukan di internet justru berpusar di sekitar kisah horor fiktif yang meliputi villa ini.
Pada tahun 2009, sebuah gempa besar melanda Pangalengan. Villa berdinding putih bersih ini runtuh, ambruk dan hanya tersisa sebagian kecil. Namun sekarang villa tersebut sudah kembali diperbaiki dan direstorasi seperti semula.
“Apakah pemilik villa ini punya hubungan dengan Bosscha?” tanya saya kepada bapak tadi. Bapak tadi membalas dengan gelengan pelan. Tidak tahu.