Gejolak politik di Kota Bima ibarat panci penggorengan yang diletakkan di atas kompor menyala. Panas. Meskipun hanya berupa kota kecil di Nusa Tenggara Barat, intrik politik dan dinamika kehidupan masyarakatnya sudah bersaing dengan kota-kota besar. Sebut saja kasus Pilkada yang berujung pada sengketa dua kampung dan mengakibatkan salah satu warganya tewas dibacok.
“Bukan cuma itu,” terang Adin malam itu, “Kemarin ada orang dibunuh di kampung sana, katanya sih urusan asmara. Celakanya kasus asmara ini melibatkan sesama pria, jadi cinta segitiga antar sesama pria.”
Adin mengungkapkan, menyelesaikan masalah dengan kepala panas seakan-akan sudah menjadi menu sehari-hari masyarakat Kota Bima, mulai dari urusan politik, percintaan, keuangan, agama, hingga ke pacuan kuda tidak jarang berakhir dengan adu jotos dan pembacokan. Sungguh agak menjadi paradoks mengingat kota ini sangatlah religius.
Malam itu saya duduk bersama Itha dan Adin di depan Kantor Walikota Bima, cahaya lampu warna-warni berpendar apik di tepian gedung berwarna putih marbel itu. Inilah gedung yang menjadi lambang hegemoni politik di kota terbesar di Pulau Sumbawa.