Menghalau Tangan Maling

“Tujuh ribu,” katanya sembari menyerahkan sekaleng Pocari Sweat melalui lubang kecil yang ada di tengah-tengah teralis. Lubang dengan jendela ayun mirip pintu masuk anjing itu ada di nyaris semua warung yang seluruhnya tertutup teralis. Tentu ada satu hal yang tidak lazim dengan pemandangan ini, bahkan di Jayapura pun tidak begitu.

“Kenapa semua warung di sini selalu ditutupi oleh jeruji besi seperti penjara begini?” tanya saya lagi kepada ibu muda yang sedang menggendong bayinya itu.

“Ya, mungkin biar lebih aman,” jawabnya sambil tertawa terbahak-bahak. Usut punya usut, memang banyak sekali tangan-tangan nakal di Merauke ini yang suka mengambil barang dari warung-warung kecil tanpa membayar. Mereka biasa melihat suasana warung yang sepi, mengambil makanan ringan, kemudian kabur begitu saja.

Astrid pernah menjelaskan kepada saya bahwa para maling berkeliaran di Merauke itu rata-rata berasal dari kabupaten sebelah. Orang-orang dari Mappi dan Boven Digoel banyak yang mengadu nasib ke Merauke tanpa membawa bekal yang cukup, bahkan banyak yang hanya membawa badan. Akibatnya mereka bertahan hidup dengan mencuri. Itulah, di manapun ketimpangan selalu menjadi sumber masalah.