Bagi sebuah perjalanan di padang tandus berdebu pasir, penemuan air terjun seperti ini harus dirayakan dengan teriak kemenangan. Itulah mengapa kami berhamburan menyambutnya ketika melintasi sebuah air terjun kecil di tepi jalan utama Pulau Waigeo.
Janganlah engkau bayangkan air terjun dengan air berdebur-debur gagah laiknya Sigura-gura. Air terjun yang saya maksud di sini adalah rembesan air yang membanjiri tebing batu hitam yang membentengi jalanan Waigeo. Ia mungkin urung memukau, namun setidaknya sudah lumayan untuk membuat setiap pelintas untuk menolehkan kepala ke arahnya.
Pak Jajang dan saya berdiri di bawah cipratan air gunung ini. Berteduh dari panasnya mentari.
“Saya jadi teringat dengan Lembah Anai,” ucap saya lirih memecah keheningan, menyebut-nyebut sebuah perjalanan yang pernah saya lakoni dari Padang ke Bukittinggi. Suara saya berbaur dengan gemericik air yang terus menerus mengalir.
Anggaplah Mayalibit sebagai terminus, maka ini merupakan penutup perjalanan dua pekan saya di tanah Papua. Sebuah perjalanan panjang yang harus dilakoni dari Jakarta, Makassar, Sorong, hingga berujung di Waisai. Keesokan hari saya harus memulai perjalanan berputar balik, dari Sorong menuju ke Makassar dan kembali ke Jakarta.