Tanpa kaok burung hutan, mungkin ia hanyalah kesenyapan tak bertuan. Danau cantik di ceruk Minahasa ini memang biasa dinikmati dalam diam, tanpa sepatah kata pun termenung menikmati cangkir demi cangkir kopi yang aromanya berbaur dengan aroma sulfur.
Lilinowan, dalam Bahasa Tombulu, artinya tempat air berkumpul. Atau lebih pantasnya, muara. Laiknya miniatur Danau Kelimutu, warna Danau Linow dapat berubah-ubah, dari biru, menjadi hijau, bahkan terkadang kecoklatan. Fluktuasi kandungan belerang menentukan warna-warni danau kecil yang diduga terhubung langsung ke Gunung Lokon ini.
Memang bahkan di Minahasa sendiri pun Danau Linow kalah tenar dari Danau Tondano. Namun justru di sinilah keindahan dan kedamaian ini bisa lebih saya nikmati. Apalagi usai berjalan kaki jauh dan berdiam diri diterpa hujan di atas bak mobil yang terbuka.
Hujan sudah reda beberapa saat yang lewat. Tanah pun mengeluarkan petrikor khasnya sementara saya merapatkan jaket setinggi dagu, menentang udara dingin yang menerpa. Danau Linow memang anggun lewat kombinasi warnanya yang unik dan kabut kelabu mengambang rendah. Kesunyian yang lepas di tanah ini membuat saya melewatkan separuh senja di sisinya.
“Pokoknya kamu kudu ke sini sebelum gelap,” seru Randy melalui telepon, “Nanti kita ada makan malam sama-sama. Ada Leon dan Haidir juga yang mau ketemu sama situ.”
Randy adalah teman yang pertama saya temui dari komunitas para petualang Sulawesi Utara. Memang saya ada janji untuk bertemu dengannya kalau-kalau saya berkesempatan singgah di Minahasa. Kali ini nampaknya Randy menagih janji saya. Saya tidak memiliki pilihan. Sebelum udara semakin dingin, saya sudah melangkahkan kaki mendaki bukit menuju ke jalan utama, menunggu ada orang yang berbaik hati lagi memberi saya tumpangan hingga ke Manado.