Pagi itu teduh. Kami beruntung bisa berangkat tepat waktu dari Bakauheuni. Angkot yang disewa oleh Kiki membawa kami melintasi jalanan sempit bergelombang yang menyisir kaki Gunung Rajabasa. Hampar pepohonan yang mengapit dari sisi kanan kiri jalan menaungi perjalanan selama satu jam dari satu dermaga ke dermaga lainnya, Kalianda.
Kalianda adalah sebuah kota kecil, atau lebih tepatnya perkampungan, yang menghadap tepat ke luasan Selat Sunda. Dari sinilah lazimnya para pejalan memulai pelayaran menuju ke Gunung Krakatau. Sampai di sini, sejujurnya saya sama sekali buta ihwal rute yang akan kami tempuh.
Setir angkot dibanting mendadak. Dari jalanan sempit berbatu kami dibawa masuk ke jalanan yang lebih sempit dan lebih berbatu. Tidak berapa lama, angkot itu direm sama mendadaknya. Kami tiba di tepi sebuah dermaga kayu.
Dermaga ini tidak besar namun di sisinya terdapat setengah lusin perahu yang bersandar menanti penyewa. Perahu-perahu tersebut terdiam begitu saja di sana tanpa terlihat seorang pun di dalamnya sementara bendera merah putih kecil nampak berkibar di atap masing-masingnya. Memang hari ini kami berangkat dalam tim yang sangat besar, tentu sudah sewajarnya apabila kami membutuhkan banyak perahu. Namun tetap saja setengah lusin terlampau banyak.
Beruntung cuaca pada pagi itu cukup bersahabat. Mendung tipis melapis matahari sehingga tidak terasa panas. Amrul, Hadary, dan saya melewatkan waktu hampir dua jam untuk bercengkerama di tepi dermaga hingga akhirnya salah seorang sais mengisyratkan bahwa itu sudah waktunya bagi kapal untuk berangkat.
Saya beranjak dari dermaga. Melihat badan kapal yang penuh dan memilih ruang kosong di atap untuk duduk. Perjalanan ke Krakatau masih panjang.