“Jangan kau tanya kerjaku, tetapi lihatlah karyaku,” ucapan Bupati Merauke tersebut dikenal sebagai Filosofi Musamus yang mendarahdaging dalam kehidupan masyarakat Merauke.
Semula saya tidak habis pikir, sebegitu tenarnyakah sarang semut bernama musamus ini? Musamus tak ubahnya menjadi identitas untuk tanah Merauke, mulai dari nama bandar udara hingga nama rumah makan. Namun buncah keheranan saya itu terjawab ketika menyusuri paparan Taman Nasional Wasur untuk pertama kalinya, ratusan bahkan ribuan musamus tersebar di setiap sudut hutan.
Sejatinya musamus bukanlah sarang semut seperti yang digadang-gadang orang kebanyakan, melainkan sarang rayap. Rayap jenis Macrotermes ini memang serupa semut dan gemar membangun sarang di hutan bertanah merah di sisi selatan Pulau Papua. Markas besar para rayap ini begitu saja tersebar di setiap sudut hutan, beberapa bahkan ukurannya bisa menjulang hingga beberapa meter, mengerucut di sela-sela pepohonan berdaun jarang.
Setiap musamus dihuni oleh jutaan rayap yang membentuk koloni yang membangun pemukiman mereka dari bahan dasar rumput kering, tanah merah, dan air liur. Bangunan yang berbentuk mirip roket-roket stalakmit berongga ini tingginya mulai dari sedengkul orang dewasa hingga mencapai lima meter. Warnanya pun bervariasi dari cokelat kemerahan hingga cokelat kehitaman bergantung kepada komposisi tanah yang digunakan untuk membangunnya.
Yang menakjubkan adalah daya tahan struktur ini terhadap goncangan yang luar biasa, mulai dari hujan hingga angin seakan tidak mampu merubuhkan kerucut-kerucut ciptaan para rayap ini. Musamus banyak terdapat di wilayah Australia dan Papua Nugini, tetapi di Indonesia sendiri, musamus hanya dapat ditemukan di Kabupaten Merauke, tepatnya di sepanjang Taman Nasional Wasur.
Banyaknya musamus di Merauke ini membentuk sebuah filosofi yang dicetuskan oleh Bupati Merauke tersebut, yaitu bahwa rayap-rayap bekerja tanpa mencuri perhatian namun hasilnya besar dan mengejutkan. Dengan filosofi ini diharapkan Merauke mampu tumbuh maju, memang tidak salah karena Merauke saat ini jauh lebih berkembang daripada kabupaten-kabupaten di sekitarnya.
Saya berjalan pelan menghampiri salah satu musamus setinggi empat meter yang terletak di sisi Papua Nugini. Melangkahkan kaki ke negara orang tanpa paspor sudah jadi hal biasa di sini. Di bawah monumen alam yang tidak jauh dari perbatasan Republik Indonesia ini saya mengambil beberapa gambar dan duduk di bawahnya, mengamati keajaiban alam ini yang terpampang di depan hidung.