“Saya dari Boyolali,” cetus pemuda berseragam loreng-loreng itu seraya mengulurkan tangan menyalami saya. Mas Rino ditugaskan di Asiki, Kabupaten Boven Digoel, sekitar 257 kilometer di sebelah utara Sota. Sebuah jarak yang harus ditempuh sehari semalam dalam kondisi jalan tanah merah berlumpur berat, yang mana mobil-mobil pelintas harus berjibaku di kedalaman lumpur layaknya tikus tanah mekanik.
Sota adalah satu dari sedikit patok-patok perbatasan yang memisahkan Indonesia dan Papua Nugini. Selebihnya masih terbentang 760 kilometer garis pemilah kedua negara yang nyaris tegak lurus terhadap ekuator dan tidak bertanda. Garis imajiner ini ditarik begitu saja secara paksa oleh kolonialis Belanda dan Inggris tanpa mempedulikan aspek geologis, kesukuan, apalagi kebudayaan. Garis batas ini yang ditarik secara liar ini entah sudah memisahkan berapa banyak keluarga dan perkampungan.
Barangkali mereka berpikir bahwa di sana hanya ada hutan lebat.
Ya. Memang. Sebagian besar dari 760 kilometer bentangan garis batas itu hanya membelah melalui hutan-hutan tak bertuan. Namun memori saya terlempar ke beberapa tahun lalu ketika tim ekspedisi Angkatan Darat menemukan Kampung Digo, sebuah perkampungan perbatasan yang bahkan tak paham mereka tinggal di negara mana. Setidak mungkin apapun itu, saya yakin di sana ada kampung-kampung yang terbelah oleh garis batas yang mereka sendiri tidak tahu siapa yang membuat.
Bagi kita barangkali tugu ini hanyalah patok perbatasan biasa. Namun bagi suku-suku yang tinggal di pulau ini, tugu ini adalah penentu nasib, apakah mereka orang Indonesia atau orang Papua Nugini, dua bangsa yang sebenarnya bagi mereka sama-sama terasa begitu jauh.
Apabila dibandingkan dengan perbatasan Indonesia dengan negara-negara lain, perbatasan dengan Papua Nugini mempunyai masalah tersendiri yang sangat kompleks, apabila tidak mau dibilang paling kompleks.
Penugasan di perbatasan selalu menyisakan cerita tersendiri. Tidak terkecuali untuk ketiga serdadu yang saat ini bersama saya di kawasan Sota ini. Bagi mereka yang bertugas di Asiki, Merauke bagaikan kota metropolitan. Tanahmerah, ibukota Kabupaten Boven Digoel, saja masih kesulitan mendapatkan listrik yang konsisten. Jangan tanya dengan Asiki yang notabene merupakan subordinatnya. Sudah pasti lebih parah.
“Menyisir perbatasan Indonesia di sini seringkali berarti harus membuka jalan sendiri,” terang Mas Gede kepada saya, “Meskipun di peta hanya terlihat garis lurus, namun apabila kita susuri itu harus melintasi hutan, rawa-rawa, sungai, gunung, dan sebagainya. Perjalanan untuk patroli ke daerah-daerah tersebut tidak pernah mudah.”
Sang komandan memanggil ketiga anak buahnya. Mereka pun bergegas menemui pimpinannya tersebut segera setelah mengucapkan salam perpisahan kepada kami. Selamat bertugas kembali, kawan-kawan!