“Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu,
Masih seperti dulu, tiap sudut menyapaku bersahabat penuh selaksa makna,
Terhanyut aku akan nostalgia saat kita sering luangkan waktu,
Nikmati bersama suasana Jogja.”
Setiap kunjungan ke Yogyakarta adalah sewujud nostalgia. Apabila Jakarta adalah jantung ekonomi Pulau Jawa, maka Yogyakarta adalah jantung budayanya. Saya termasuk orang yang banyak melewatkan masa kecil di kota ini. Tatkala Kota Solo masih berusaha keluar dari bayang-bayang Kota Jogja, terkadang terbersit rasa iri melihat riuhnya Jalan Malioboro dan nuansa internasional kotanya. Tidak dipungkiri bahwa Jogja memang lebih tenar daripada kota kelahiran saya, Solo.
Boleh dikatakan bahwa Yogyakarta merupakan provinsi paling independen di republik ini yang alih-alih menelurkan konflik justru mampu meredam potensi gesekan antara independensi yang dimiliki dengan kesatuan republik. Entah mengapa kunjungan ke Yogyakarta senantiasa meletupkan nuansa melankoli meskipun sejatinya wajah kota ini telah banyak berubah.
Langkah-langkah di pagi hari menyusuri Jalan Malioboro membawa saya kepada momen-momen nostalgia tatkala menghabiskan waktu di kota ini beberapa tahun silam. Pemandangan sudah banyak berubah, jalanan sekarang jauh lebih ramai dan becak-becak yang dulu menyesaki jalanan kota sekarang sudah terlihat agak jarang, tergantikan oleh kendaraan-kendaraan bermotor.
Bagi para penduduk Yogyakarta barangkali perubahan sedikit demi sedikit tidak terasa, namun teruntuk orang yang sudah lama tidak singgah di kota ini. Satu dekade ibarat lompatan luar biasa. Mulai dari menjamurnya pusat-pusat perbelanjaan hingga gedung-gedung pencakar langit yang menghiasi lanskap.
“
Teringat kisah dari seorang guru ketika saya masih duduk di bangku sekolah dulu, akan adanya sebuah garis lurus yang menghubungkan titik-titik krusial Ngayogyakarta Hadiningrat, dari Pantai Parangkusumo, Kraton Yogyakarta, Tugu Jogja, hingga Gunung Merapi. Sebuah garis lurus yang melambangkan Sangkan Paraning Dumadi, hakekat manusia dari kelahiran hingga kembali kepada Sang Pencipta.
Saya duduk di tepi Jalan Malioboro, memandangi riuhnya pagi yang merekat kembali momen-momen nostalgia itu. Entahlah, saya begitu menyukai kota ini dan tidak akan pernah bosan dengan Yogyakarta.