Benteng Wolio Benteng Kota

Dari ketinggian palisade benteng, saya memandang langsung ke lautan lepas. Bekas fortifikasi Kesultanan Buton itu kini hanya menjadi penghalau angin laut, tidak lebih. Namun siapa sangka bahwa berabad-abad silam, ia adalah sebuah perlambang kekokohan dan keperkasaan kesultanan terbesar Sulawesi Tenggara yakni sebuah sitadel agung yang berdiri angkuh di pesisir Buton.

Benteng Wolio punya banyak cerita. Salah satunya adalah kisah batu wolio yang terdapat di salah satu sudut kraton. Menurut legenda lokal, di batu inilah rakyat Buton bertemu dengan seorang putri Tiongkok bernama Wa Kaa Kaa yang kemudian menjadi pemimpin Buton.

Sang putri dilantik di batu popaua yang terletak di kaki bukit kecil, tempat berdirinya Masjid Agung Kraton Buton. Masjid berusia tiga abad ini berada di depan sebuah gua yang disebut pusena tanah, alias pusat bumi. Mistis tentunya. Karena konon dari dalam gua tersebut terlantun suara adzan pada suatu hari Jumat yang kemudian melandasi peristiwa pendirian masjid tadi.

Entah mengapa pada awal tahun 1930-an, ketika masjid tersebut direstorasi, pintu pusena tanah ditutup dengan semen, menyisakan lubang kecil sebesar kepala manusia. Untuk melihat ke dalamnya, kita harus membuka terlebih dahulu papan penutupnya.

Saya berdiri di ambang dinding bastion pada pagi itu, menatap jauh ke lautan lepas yang bergelombang kuat. Benteng Wolio mempunyai enam belas bastion dan dua belas gerbang, yang mana setiap bastion dikawal oleh dua atau tiga pasang kanon. Wajar untuk ukuran sebuah benteng yang masif seperti ini.

“Antarlah kami ke Betoambari,” pinta saya kepada Fahrul memecah kesunyian pagi itu, “Jadwal pesawat kami dimajukan sehingga kami harus terbang siang ini.”

Fahrul mengiyakan. Rudy dan saya mungkin kurang beruntung karena tidak dapat lebih lama lagi di kota nan cantik ini. Mau tidak mau, boleh tidak boleh, suka tidak suka, pesawat yang akan mengantarkan kami ke Makassar akan segera berangkat siang ini.