Hempasan airnya menerpa wajah tatkala saya berjalan menapaki jembatan batu yang berselimut lumut. Air Terjun Saluopa adalah curug dua belas tingkat yang pernah menjadi primadona di Sulawesi Tengah. Namun seiring dengan konflik yang mendera Poso, wilayah ini tidak pernah lagi melihat wisatawan berdatangan. Saluopa pun kemudian terlupakan.
Meskipun boleh dibilang keadaan telah berangsur-angsur membaik, animo yang lama belum kembali. Ketika saya berada di sana nyaris tidak nampak ada seorang pun di sana selain seorang pencari kayu. Air terjun cantik yang debit airnya mulai berkurang ini masih punya pesona yang tidak tertandingi.
Masyarakat sekitar juga kerap menyebutnya dengan istilah Air Luncur Saluopa lantaran dari sumber air di perbukitan sana hingga turun ke sini airnya tidak terjun, melainkan lebih tepat disebut meluncur melewati bebatuan licin yang landai. Luncuran alam yang panjang ini punya kesan eksotis dengan dua belas undakan yang masih-masing dipisahkan oleh kuala-kuala kecil.
Apabila beruntung, kita dapat bertemu banyak fauna khas Sulawesi Tengah di sini. Titik temu antara Benua Asia dan Australia di kawasan Wallacea ini membuat Sulawesi Tengah mempunyai fauna unik yang tidak terdapat di belahan dunia manapun, di antaranya adalah anoa dan babi rusa. Namun lazimnya hewan-hewan langka tersebut tidak mudah ditemui, lebih banyak unggas-unggas hutan yang terlihat berkeliaran di sini.
Debit air terjun ini terus menurun. Ya. Usut punya usut, hutan di atas bukit sana mulai berkurang karena ada masyarakat yang membuka lahan perkebunan. Akibatnya aliran air yang meluncur ke bawah sini pun semakin berkurang. Meskipun demikian pada saat saya berkunjung ke sana luncuran airnya masih terlihat deras.
Air Terjun Saluopa tidak sulit dijangkau dari kota cantik Tentena. Cukup dengan berkendara selama dua puluh menit dengan sepeda motor kita dapat mencapai tempat ini. Adapun yang perlu dilakukan dengan hati-hati adalah kawasan ini boleh dibilang masih sangat sepi sehingga butuh kewaspadaan ekstra sebelum menjelajah.
Satu jam lamanya saya berada di tempat ini sebelum akhirnya berjalan kembali ke desa terdekat.
“Kalau hari minggu biasanya ada beberapa pengunjung,” terang Pak Nyoman yang keluarganya sudah pindah ke Sulawesi Tengah dari Bali sejak tiga generasi yang lalu, “Mereka biasanya datang dari Poso atau Palu. Ke sini hari sabtu atau minggu begitu. Kalau hari biasa seperti ini memang sepi.”