Ibu-ibu semi-uzur itu berteriak-teriak layaknya orang sinting. Kemudian diayunkannya tas tangan besar ke arah seekor monyet nakal. Brak! Si monyet terpelanting dan lari ke atas pohon. Monyet besar yang semula hanya diam-diam saja di belakang tiba-tiba terpancing untuk ikut mendekati ibu tadi dan para petugas pun kerepotan untuk mengusirnya.
Monyet nakal, oh, monyet nakal. Tidak hanya di Uluwatu dan Ubud Monkey Forest saja, Sangeh pun tenar dengan kenakalan monyet-monyetnya. Saya menjauh. Saya memilih berdiam di sudut kompleks yang tidak terjangkau oleh monyet-monyet itu, yang memang sepi dari pengunjung.
Satu satunya yang membuntuti saya semenjak tadi adalah seorang gadis Bali yang menawarkan panduan. Sudah klasik memang bahwa masyarakat Bali hidup dari aktivitas seperti ini. Tidak enak hati menolak, maka saya mengizinkannya untuk memandu perjalanan saya seraya memberikan penjelasan seputar Sangeh.
Sangeh yang terletak di Abiansemal ini bukan sekedar petilasan atau pura suci. Dipercaya oleh penduduk sekitar Sangeh merupakan teritorial tiga kerajaan monyet. Primata tersebut dibiarkan hidup bebas berkeliaran di seantero pura dan malah dikeramatkan oleh sebagian penduduk.
Dahulu kala sebelum Bali dijamah oleh pembangunan yang kelewatan, wilayah ini adalah hutan lebat. Di tengah hutan inilah dibangun sebuah pura bernama Pura Bukit Sari yang di kemudian hari menjadi tempat nongkrong favorit monyet-monyet hutan. Sangeh memang masih berwujud hutan lebat dengan pohon-pohon rimbun, namun tidak dipungkiri bahwa areal sekitarnya sudah berubah drastis menjadi pemukiman yang padat.
“Monyet di sini tidak nakal banget kok, kakak,” terang Ni Luh yang dengan antusias memandu saya menavigasi sudut-sudut Sangeh, “Nah, di sebelah sana ada pohon lanang wadon.”
Dari namanya saja, saya sudah bisa menebak pohon apa ini. Terlihat sebuah pohon pala yang pada bagian tengahnya berlubang besar berwujud seperti alat kelamin wanita, sementara pada bagian tengahnya tumbuh batang yang tegak seperti alat kelamin pria. Ni Luh menoleh ke saya sambil nyengir kecil, “Perlu dijelaskan?”
“Oh, tentu. Silakan,” pungkas saya singkat.