Dunia memang sempit.
Lebih sempit lagi kalau anda tinggal di Pulau Bungin. Terus terang pada mulanya saya tidak habis pikir bagaimana penduduk pulau ini rela hidup berdesak-desakan di lahan yang jelas-jelas sudah habis. Namun justru itulah menariknya Pulau Bungin, pulau ini tumbuh berkembang dengan memutarbalikkan nalar.
Tiga ribu lima ratus penduduk tinggal di dalam pulau seluas delapan hektar. Sudah dapat dibayangkan betapa penuh sesaknya pulau ini hingga nyaris tidak terdapat lagi lahan kosong untuk sekedar mendirikan bangunan baru. Ruang terbuka hijau? Lupakan.
Namun jangan dikira pembangunan rumah di Pulau Bungin terhenti begitu saja. Ketika terdapat kebutuhan untuk membangun rumah, maka di saat itulah pulau ini turut meluas. Warga yang berniat membangun rumah baru mau tidak mau harus mereklamasi lingkar terluar pulau ini dengan urugan karang. Lambat laun pulau ini pun melebar dengan sendirinya.
Untuk membangun rumah di Pulau Bungin, anda tidak perlu membeli tanah. Sebaliknya, cukup membeli batu. Dengan batu-batu karang yang mencukupi, anda dapat memulai proses reklamasi secara manual dengan menimbun garis pantai pulau ini. Ketika luas karang reklamasi dirasa sudah cukup, rumah pun dapat didirikan di atasnya.
“Hampir semua penduduk pulau ini adalah Suku Bajo,” ungkap Pak Iskandar sembari menyesap kreteknya dalam-dalam, “Kalau seorang lelaki mau menikah, maka dia harus terlebih dulu membangun rumah. Artinya dia harus reklamasi dulu karena pulau ini sudah penuh sesak.”
Barangkali terdengar agak nyeleneh. Memang. Kenyataannya pemerintah sudah berulang kali menawarkan orang-orang laut Bajo ini untuk berpindah ke lahan yang jauh lebih luas di daratan namun mereka senantiasa menolaknya. Teruntuk masyarakat Bajo melewatkan hari-hari di ambang lepas laut adalah cara mereka menjalani kehidupan.