“Kamu mau makan apa?” tanya Ferdi kepada saya. Terus terang itu adalah pertanyaan yang sudah barang tentu tidak mampu saya jawab melihat nama-nama masakan yang begitu asing terpampang di depan saya.
Tatapan mata saya tertuju kepada dua nama yang tercantum di deretan paling atas, sepat dan singang. Apabila ingatan saya tidak keliru, kedua nama itu pernah saya baca dalam perjalanan di pesawat menuju ke Sumbawa. Bisa jadi keduanya merupakan masakan khas paling favorit di tanah ini. Lagipula tentu mereka punya alasan untuk meletakkan keduanya di baris menu paling atas kan?
Jadilah saya pada siang yang panas itu memesan sepat dan singang. Masing-masing setengah kilogram untuk kami santap berdua. Perihal seperti apa rasanya, saya oper kepercayaan sepenuhnya kepada si juru masak. Kan memang tujuan saya ke sini untuk mendapatkan cita rasa autentik dari Sumbawa.
Rumah makan terapung di lepas Pulau Bungin ini cukup unik. Terdiri atas beberapa dek yang berlapiskan tikar, dengan atap kain tipis, selebihnya merupakan kolam-kolam semenjana yang menampung berbagai jenis spesies laut. Bahkan salah satu di antara kolam yang ada di rumah makan ini menampung seekor penyu dewasa yang berenang ke sana kemari.
Selebihnya membuat saya geleng-geleng kepala. Ikan berwarna-warni yang wujudnya tidak pernah saya lihat sebelumnya hingga udang batu yang terselip di dalam botol-botol plastik. Semuanya dalam kondisi hidup dan riwayat mereka baru akan diakhiri ketika ada tamu yang memesan untuk dimakan.
Siang itu hampir satu jam kami menunggu makanan siap. Memang suasananya santai sehingga kami tidak terlampau keberatan dengan pelayanan yang serba kalem itu. Soal rasanya, jangan tanya, baik sepat maupun singang yang kami santap siang itu terasa begitu segar dengan bumbu yang kaya rempah-rempah khas Sumbawa.